banner 728x250
Budaya  

Wankang Bersauh Restu”: Epik Cinta Melayu–Tionghoa di Pulau Penyengat, Simbol Abadi Harmoni Dua Peradaban

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Tanjungpinang — Di bawah cahaya temaram Tugu Sirih yang menghadap ke Pulau Penyengat, pementasan “Wankang Bersauh Restu” kembali menggugah kesadaran kolektif masyarakat Kepulauan Riau tentang akar kebinekaan dan harmoni budaya yang telah bersemi sejak berabad-abad lalu. Karya ini bukan sekadar drama panggung, melainkan sebuah perayaan kultural—menghidupkan kembali kisah cinta lintas etnis antara Melayu dan Tionghoa yang terpatri dalam memori sejarah maritim Tanjungpinang.

banner 325x300

Serial budaya yang kini memasuki episode ketiga dan keempat dari rencana 14 episode ini mengisahkan perjalanan Tiksing, saudagar muda Tionghoa dari Tanjungpinang, dan Sitti Fatimah, “nama perumpamaan” perempuan Melayu dari Pulau Penyengat yang teguh memegang adat dan syariat. Pertemuan mereka berawal dari aktivitas perdagangan di dermaga kecil Penyengat, yang perlahan menumbuhkan kasih di antara dua jiwa berbeda latar dan keyakinan. Namun cinta itu bukan tanpa ujian. Ia harus menembus tembok prasangka, perbedaan adat, dan garis batas sosial yang pada masa itu masih tebal di antara dua komunitas.

Sutradara sekaligus penggagas pementasan, yang juga seorang peneliti budaya pesisir, menjelaskan bahwa kisah “Wankang Bersauh Restu” diangkat dari catatan lisan dan tradisi tutur masyarakat Penyengat. Menurutnya, kisah ini bukan hanya tentang romansa personal, melainkan cermin perjalanan sosial masyarakat Tanjungpinang yang sejak lama menjadi ruang perjumpaan berbagai etnis.

“Sejarah kita adalah sejarah pertemuan, bukan pemisahan. Laut tidak membelah kita, tapi justru mempertemukan. Melalui kisah Tiksing dan Sitti Fatimah, kita ingin menegaskan bahwa cinta, saling hormat, dan dialog budaya adalah warisan sejati peradaban Melayu,” ujarnya.

Pementasan tersebut menghadirkan kekayaan simbolisme budaya yang kuat. Perahu kayu yang bersauh melambangkan restu leluhur, sementara irama kompang Melayu berpadu dengan denting kecapi Tionghoa menciptakan harmoni bunyi yang menandai persatuan dalam perbedaan. Di atas panggung, bahasa Melayu dan dialek Hokkien bertemu dalam satu ruang estetik yang mengundang decak kagum penonton.

Bagi para budayawan dan pengamat lintas agama yang hadir, “Wankang Bersauh Restu” adalah lebih dari sekadar tontonan. Ia merupakan upaya membangun kesadaran historis bahwa harmoni antarumat dan antarbudaya telah lama menjadi fondasi masyarakat Kepulauan Riau.

Pengamat kebudayaan lintas agama Dr. Hanafiah Zakaria, menilai pementasan ini sebagai bentuk revitalisasi nilai-nilai keberagaman yang lahir dari akar budaya lokal.

“Karya seperti ini menegaskan kembali bahwa dialog antarbudaya bukanlah gagasan baru. Ia sudah hidup dalam sejarah masyarakat pesisir, di mana hubungan antar-etnis terjalin melalui perdagangan, perkawinan, dan nilai saling percaya. Wankang Bersauh Restu menghadirkan kembali kesadaran itu dalam bahasa seni yang indah dan relevan untuk masa kini,” ujarnya.

Senada dengan itu, pengamat lintas iman dari Batam, Romo Adrianus Sim, melihat pementasan ini sebagai ekspresi spiritualitas kebersamaan.

“Cinta lintas etnis dalam kisah ini bukan sekadar romantika, melainkan representasi teologis tentang kemanusiaan yang universal. Ketika dua budaya saling menerima tanpa kehilangan identitas, di situlah nilai-nilai agama sejati bernafas—kasih, damai, dan penghormatan terhadap perbedaan,” katanya.

Sementara itu, pemerhati sejarah lokal, Nuraini Sulaiman, menilai bahwa kisah ini sekaligus menjadi pengingat bahwa Pulau Penyengat tidak hanya dikenal sebagai pusat Islam dan sastra Melayu, tetapi juga simbol keterbukaan budaya.

“Melalui kisah ini kita diingatkan bahwa masyarakat Penyengat dan Tanjungpinang tumbuh dari pertemuan banyak bangsa. Di sini, Melayu, Tionghoa, Arab, dan Bugis pernah berlayar bersama membentuk identitas Kepri yang ramah dan kosmopolit,” ujarnya.

“Wankang Bersauh Restu” kini menempati posisi penting dalam lanskap kebudayaan Kepulauan Riau. Ia bukan sekadar dokumentasi estetika, tetapi juga pernyataan moral—bahwa warisan harmoni yang lahir dari laut dan pertemuan budaya harus dijaga dalam arus modernisasi yang sering melunturkan akar sejarah.

Di tengah semilir angin laut yang membawa gema azan dari menara masjid Pulau Penyengat, kisah Tiksing dan Sitti Fatimah terasa hidup. Ia menembus waktu, menjembatani masa lalu dan masa kini, mengajarkan bahwa cinta sejati adalah tentang keberanian untuk menyatukan yang berbeda, serta keyakinan bahwa di bawah langit Kepri, harmoni adalah restu tertinggi yang diwariskan leluhur.

“Redaksi

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *