banner 728x250

Wamen Rangkap Jabatan Komisaris BUMN, Pemborosan Anggaran Negara Jadi Sorotan

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com.Tanjungpinang.Kepulauan Riau.- Isu rangkap jabatan kembali mengemuka setelah terungkap bahwa sebanyak 30 Wakil Menteri (Wamen) Kabinet Indonesia Maju di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto juga menjabat sebagai komisaris di berbagai perusahaan milik negara (BUMN) dan anak usahanya. Fenomena ini memunculkan kritik keras dari berbagai kalangan, mulai dari pemerhati kebijakan publik, akademisi, hingga masyarakat sipil, yang menilai praktik ini sebagai bentuk pemborosan anggaran negara dan konflik kepentingan.

banner 325x300

Kebijakan penempatan para Wamen sebagai komisaris BUMN memicu pertanyaan serius tentang efektivitas pemerintahan serta komitmen terhadap reformasi birokrasi dan efisiensi pengelolaan keuangan negara. Para Wamen yang notabene merupakan pembantu presiden dan berperan dalam pengambilan keputusan strategis di kementerian, dinilai telah kehilangan fokus kerja karena harus membagi perhatian mereka untuk duduk di kursi komisaris yang sarat kepentingan bisnis dan keuntungan finansial.

Menurut pengamat kebijakan publik, kebijakan ini tidak sejalan dengan semangat good governance. Dalam banyak kasus, para komisaris seharusnya memiliki pengalaman dan kompetensi profesional yang relevan dengan bidang usaha BUMN tempat mereka ditempatkan. Namun, sebagian Wamen yang ditunjuk justru tidak memiliki latar belakang yang mendukung fungsi pengawasan strategis perusahaan negara. Akibatnya, hal ini dapat merugikan performa perusahaan sekaligus melemahkan fungsi kementerian yang mereka emban.

Sejumlah tokoh mengkritik keras langkah ini sebagai bentuk pembagian “jatah kekuasaan” yang menggerogoti prinsip meritokrasi dan pelayanan publik. Dalam Pasal 33 UUD 1945, dinyatakan bahwa bumi dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun dalam praktiknya, kekayaan negara seolah dikavling untuk kelompok elit yang memiliki akses kekuasaan, bukan untuk kepentingan publik.

Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, disebutkan bahwa Dewan Komisaris memiliki tanggung jawab strategis dalam mengawasi pengelolaan BUMN agar berjalan sesuai dengan tujuan negara. Namun jika posisi ini justru ditempati oleh para pejabat yang memiliki jabatan rangkap dan tidak fokus, maka potensi pengawasan yang lemah sangat besar.

Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dijelaskan pula bahwa setiap penggunaan uang negara harus dilakukan secara efisien, transparan, dan akuntabel. Dengan banyaknya jabatan struktural dan fungsional yang dirangkap oleh elite kekuasaan, bukan hanya efisiensi yang terabaikan, tapi potensi penyalahgunaan anggaran juga semakin besar.

Pemerintah juga dikritik karena memelihara struktur kabinet yang terlalu gemuk, bahkan melebihi kebutuhan yang sebenarnya. Di tengah tantangan fiskal dan kebutuhan peningkatan layanan publik, pemborosan melalui penggajian Wamen dan komisaris yang berlapis justru mencederai rasa keadilan sosial. Kondisi ini semakin diperparah dengan keberadaan staf khusus (stafsus) di hampir setiap kementerian yang jumlahnya lebih dari lima orang, dan di lingkungan Istana bahkan lebih dari sepuluh. Belum lagi, beberapa stafsus disebut berasal dari latar belakang yang jauh dari kompetensi strategis, bahkan sempat dijuluki “tukang sulap” karena tak memiliki rekam jejak yang layak.

Solusi yang disuarakan publik sangat jelas: pangkas jumlah wakil menteri dan komisaris BUMN yang tidak diperlukan, dan kembalikan struktur pemerintahan pada proporsi ideal yang fungsional dan profesional. Selain itu, muncul pula usulan untuk menyeragamkan gaji anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan ASN (Aparatur Sipil Negara), demi menekan pemborosan dan mendorong semangat pengabdian, bukan sekadar mencari penghasilan.

Ketika negara dikelola layaknya ladang kekuasaan pribadi, dengan seluruh sumber daya strategis dikuasai segelintir elite, maka kepentingan rakyat dipastikan berada di urutan belakang. Jika hal ini terus dibiarkan, Indonesia akan semakin jauh dari cita-cita keadilan sosial dan kesejahteraan bersama seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Saatnya evaluasi besar-besaran dilakukan. Reformasi birokrasi bukan sekadar jargon politik, tapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang menempatkan rakyat sebagai pusat dari seluruh kebijakan negara.”(Arf)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *