sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.– Aliansi Gerakan Bersama Rakyat (GEBER) akhirnya mengeluarkan ultimatum tegas terkait polemik pelelangan aset Taman Gurindam 12 yang hingga kini masih menyisakan ketidakjelasan. Dalam pernyataan resminya, GEBER menegaskan akan melakukan aksi besar pada 2 Oktober 2025 apabila hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRD Provinsi Kepri, Gubernur, serta pihak-pihak terkait tidak segera ditindaklanjuti sesuai kesepakatan awal.
Menurut keterangan GEBER, kesepakatan RDP yang seharusnya menghasilkan keputusan konkret justru tidak diindahkan, bahkan melewati tenggat waktu yang telah ditetapkan. “Kami sudah menahan diri dan menunda aksi pada 24 September lalu, demi menghormati Hari Jadi Ke-23 Provinsi Kepulauan Riau. Itu bentuk itikad baik kami. Namun jika aspirasi ini terus diabaikan, maka aksi turun ke jalan tidak bisa dihindari,” tegasnya.
Geber, menyebut bahwa tuntutan mereka jelas: keterbukaan, keadilan, dan penghentian segala bentuk pelelangan Gurindam 12 yang berpotensi mengalihkan ruang publik rakyat menjadi komoditas elit. Mereka menilai, jika dibiarkan, maka Taman Gurindam 12 akan kehilangan jati diri sebagai ruang terbuka masyarakat, dan berubah menjadi kawasan bisnis yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Tanggal 24 September yang lalu sebenarnya menjadi momentum bersejarah, karena merupakan hari lahir Provinsi Kepri pada 2002. Bagi tokoh-tokoh pendiri, khususnya Dato’ Huzrin Hood selaku Ketua BP3KR (Badan Pekerja Pembentukan Provinsi Kepri), peringatan itu adalah pengingat bahwa lahirnya provinsi ini berawal dari perjuangan rakyat pesisir untuk mendapatkan keadilan pengelolaan sumber daya.
“Jika hak-hak rakyat di Gurindam 12 diabaikan, sama saja kita mengkhianati semangat awal berdirinya Kepri. Provinsi ini dibangun dengan keringat dan air mata perjuangan masyarakat. Jangan biarkan ruang publik menjadi korban komersialisasi,” ujar salah seorang GEBER.
Pengamat tata kelola daerah, menilai polemik Gurindam 12 mencerminkan lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam mengelola aset publik secara transparan. Menurutnya, DPRD dan Gubernur seharusnya berdiri di garis depan memperjuangkan kepentingan masyarakat, bukan membiarkan tarik-menarik kepentingan politik dan ekonomi mengaburkan keputusan.
“Ketika hasil RDP tidak ditindaklanjuti, yang hilang bukan hanya kepercayaan publik, tetapi juga legitimasi lembaga politik. GEBER memanfaatkan ruang demokrasi dengan cara konstitusional: memberi peringatan, menunda aksi, dan baru bergerak jika aspirasi diabaikan. Ini contoh kedewasaan gerakan sipil,” tegasnya.
Sementara itu, pakar kebijakan publik, menambahkan bahwa persoalan Gurindam 12 tidak sekadar menyangkut aset fisik, tetapi juga simbol keadilan sosial. “Ruang publik adalah wajah kota. Jika ia dilelang, masyarakat merasa teralienasi dari identitasnya. Ini berbahaya, karena bisa memicu distrust jangka panjang antara rakyat dan pemerintah,” ujarnya.
Di lapangan, keresahan warga kian terasa. Beberapa komunitas UMKM yang sebelumnya menempati kawasan Gurindam 12 menyatakan mendukung penuh sikap GEBER. Mereka khawatir pelelangan ini akan menyingkirkan pedagang kecil, seniman lokal, dan komunitas budaya yang selama ini menjadikan Gurindam 12 sebagai pusat kegiatan masyarakat.
“Kalau tempat ini diserahkan ke investor besar, kami pedagang kecil pasti tersingkir. Mau cari nafkah di mana lagi? Gurindam 12 itu milik rakyat, bukan milik elit,” ujar seorang pedagang yang enggan disebutkan namanya.
Gelombang solidaritas dari berbagai organisasi masyarakat sipil pun mulai terbentuk. Beberapa aktivis mahasiswa, tokoh pemuda, hingga kelompok pemuda menyatakan siap turun ke jalan jika ultimatum ini diabaikan.
Dengan ultimatum ini, 2 Oktober 2025 akan menjadi hari penentu. Jika DPRD, Gubernur, dan pihak-pihak terkait segera mengambil langkah nyata, aksi besar mungkin bisa dihindari. Namun jika tidak, Tanjungpinang diprediksi akan menjadi pusat gelombang massa yang menuntut keadilan atas Gurindam 12.
Para pengamat menilai, pemerintah daerah sebaiknya tidak meremehkan peringatan ini. Dalam konteks demokrasi lokal, GEBER telah menunjukkan sikap konsisten: mengedepankan dialog, menunda aksi demi menghormati sejarah, dan baru mengeluarkan ultimatum ketika sabar sudah habis.
“Pemerintah harus ingat, aspirasi rakyat tidak bisa ditunda selamanya. Ketika mereka bicara soal Gurindam 12, itu bukan sekadar soal lahan, tapi soal harga diri, hak atas ruang publik, dan masa depan Kota Tanjungpinang sebagai ibukota maritim yang berkeadilan,”(tim)