sidikfokusnews.com-Dompak-Tanjungpinang.– Polemik pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) kembali memantik sorotan publik. Setelah sebelumnya muncul dugaan pelanggaran prosedur di tubuh Pokja 60, kini giliran Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kepri yang dinilai gagal menjaga transparansi dan integritas tender.
Kasus yang tengah mencuat adalah proyek Pengadaan dan Pemasangan Dermaga Apung HDPE di Pelabuhan Jagoh, Kabupaten Lingga. Dokumen lelang yang disusun Pokja 60 dinilai bermasalah karena masih mencantumkan syarat Sertifikat Keterampilan (SKT) untuk posisi Pelaksana Lapangan. Padahal, sesuai Surat Edaran Menteri PUPR Nomor 05/SE/M/2022, SKT sudah tidak berlaku lagi dan wajib diganti dengan SKK (Sertifikat Kompetensi Kerja).
Kesalahan ini bukan sekadar teknis, melainkan cacat administrasi serius yang bisa menggugurkan seluruh proses lelang. Ir. Dianoc Rica, MH, asesor penilai sekaligus mantan Ketua LPJKP Kepri 2015–2020, menegaskan bahwa Pokja 60 seharusnya segera melakukan koreksi atau bahkan pelelangan ulang. “Kalau dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk sekaligus membuka peluang gugatan hukum. Regulasi sudah jelas: dokumen pemilihan yang salah wajib dibatalkan,” ujarnya.
Namun, dalam Berita Acara Pengadaan tertanggal 8 September 2025, tidak ada sedikit pun koreksi terkait SKT maupun SKK. Kondisi ini membuat proses lelang dianggap cacat formil dan substansial. Mengacu pada Pasal 67 regulasi pengadaan, situasi tersebut cukup untuk menyatakan lelang gagal.
Kritik juga mengarah pada Kepala ULP Kepri. Tokoh muda Kepri, Andry Amsy, menyebut Aswandi gagal menjalankan fungsi pengawasan. “Kepala ULP seharusnya memanggil Pokja untuk klarifikasi, bukan justru diam. Kalau terus dibiarkan, reputasi ULP hancur dan publik semakin percaya ada permainan kotor di balik tender-tender besar,” tegas Andry.
Kecurigaan publik semakin menguat ketika sejumlah nama pengusaha disebut-sebut mendominasi proyek strategis bernilai miliaran rupiah. Inisial ABD, LMY, dan ABN santer dikaitkan sebagai pemain utama tender yang diduga dekat dengan lingkaran keluarga pejabat tinggi Kepri. Pola dominasi semacam ini dipandang sebagai indikasi oligarki yang mencederai prinsip transparansi, keadilan, dan persaingan sehat dalam sistem pengadaan.
Lebih jauh, dugaan adanya kebocoran hasil reviu Inspektorat sebelum pelelangan berlangsung membuat publik kian resah. Jika benar peserta tertentu sudah mengetahui isi reviu sejak awal, maka indikasi pengaturan pemenang lelang menjadi sangat kuat. Seorang pengamat hukum tata negara di Kepri menilai hal itu berpotensi masuk kategori tindak pidana. “Kalau rahasia pengawasan bocor ke peserta, itu bukan hanya cacat administrasi. Itu indikasi KKN yang bisa dilaporkan ke PTUN hingga aparat penegak hukum,” ungkapnya.
Gelombang kritik dari masyarakat sipil semakin membesar. Andry Amsy menegaskan pihaknya siap menempuh jalur hukum bahkan class action bila praktik kotor ini tidak dihentikan. “Kami tidak akan diam. Kalau perlu, laporan ke APH akan kami dorong agar dilakukan penyelidikan menyeluruh,” katanya.
Kini sorotan publik mengerucut pada satu tuntutan: bersihkan ULP Kepri dari praktik oligarki proyek. Transparansi penuh, pelelangan ulang yang sesuai regulasi, serta pengawasan independen dari elemen masyarakat sipil dipandang sebagai langkah mendesak untuk memulihkan kepercayaan publik. Tanpa itu, stigma ULP Kepri sebagai “sarang preman proyek” akan terus melekat dan merusak tata kelola pemerintahan daerah.”arf-6