sidikfokusnews.com-Jakarta.– Pernyataan mengejutkan datang dari Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, S.H., M.H., Ketua Umum Partai Oposisi Merdeka (POM), yang menyoroti derasnya aliran dana dari para konglomerat Indonesia ke bank-bank di negara tetangga. Fenomena ini, menurutnya, sudah berlangsung puluhan tahun dan hingga kini belum ada langkah konkret dari pemerintah untuk menghentikannya.
“Selama 35 tahun, kekayaan para orang kaya Indonesia parkir di luar negeri. Nilainya tidak main-main, bisa mencapai ribuan triliun rupiah. Kalau tidak ada pihak-pihak yang bermain di bawah permukaan, mustahil fenomena ini bertahan selama puluhan tahun,” ujar Prof. Sutan dalam keterangan kepada media, Jumat (23/8).
Menurutnya, bank di negara tetangga mampu menawarkan kombinasi keamanan, kerahasiaan, dan insentif pajak yang jauh lebih menarik ketimbang yang diberikan perbankan nasional. Hal inilah yang membuat para pemilik modal lebih memilih menyimpan kekayaannya di luar negeri ketimbang di dalam negeri.
Sejumlah pengamat keuangan menilai fenomena ini bukan semata soal kepercayaan, tetapi juga soal regulasi dan ekosistem finansial yang tidak kompetitif. Dr. Herman Widjaya, pakar keuangan dari Universitas Indonesia, menyebut pemerintah selama ini gagal menciptakan iklim investasi yang ramah bagi pemilik modal besar.
“Di negara-negara tetangga, aturan pajak untuk deposito besar lebih ringan. Kerahasiaan data nasabah dijamin. Infrastruktur keuangan mereka modern dan efisien. Di Indonesia, pemilik modal kerap menghadapi risiko politik, ketidakpastian hukum, bahkan ancaman kriminalisasi,” jelas Herman.
Dampaknya, Indonesia seperti menghadapi paradoks besar: di satu sisi harus berutang ke luar negeri untuk membiayai pembangunan, sementara di sisi lain, kekayaan warga negaranya justru mengalir keluar tanpa bisa ditahan. “Ini seperti ember bocor. Airnya terus dituang, tapi lubangnya tidak pernah ditutup,” tambah Herman.
Prof. Sutan Nasomal menegaskan, jika pemerintah serius, ada solusi yang bisa ditempuh. Negara harus berani menawarkan paket kebijakan komprehensif: jaminan keamanan dana, insentif pajak kompetitif, dan stabilitas hukum yang meyakinkan. Ia bahkan mendorong lahirnya skema “koperasi finansial nasional” agar pemilik modal merasa memiliki dan diuntungkan, bukan sekadar menjadi objek regulasi.
“Bukankah konsumen adalah raja? Para pemilik modal ini sebenarnya bukan tidak cinta negeri, tapi mereka mencari kepastian dan perlindungan. Kalau Indonesia bisa memberikan itu, mereka pasti akan memulangkan dana mereka,” tegasnya.
Pengamat ekonomi internasional, Lydia Marcellina, menilai persoalan ini juga berkaitan dengan moral hazard di kalangan elite. “Selama masih ada oknum yang diuntungkan dari status quo ini, akan sulit bagi pemerintah untuk menutup celah. Dibutuhkan kepemimpinan yang berani dan visi jangka panjang,” katanya.
Fenomena ini menjadi pengingat bahwa kedaulatan ekonomi tidak hanya diukur dari besarnya investasi asing atau pembangunan infrastruktur, tetapi juga dari kemampuan negara menjaga agar kekayaan warganya tidak lari ke luar negeri. Tanpa langkah berani, Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran utang, sementara triliunan rupiah milik warganya diam membeku di negeri orang.”redaksiSF