banner 728x250
Batam  

Turatea: Nama, Identitas, dan Memori Kolektif

banner 120x600
banner 468x60

Oleh : Dr. Nursalim, M.Pd.
Ketua APEBSKID Provinsi Kepri

Penulis adalah Ketua Afiliasi Pengajar, Penulis, Bahasa, Sastra, Seni, Budaya dan Desain Provinsi Kepulauan yang juga sebagai asli Putra Turatea menjelaskan bahwa, Turatea bukan sekedar sebutan geografis; ia adalah napas kolektif yang menenun sejarah, kepercayaan, dan kebanggaan. Ketika seseorang dari Selatan Sulawesi menyebut dirinya “anak Turatea”, ia sesungguhnya memanggil lebih dari asal-tempat; ia menghidupkan mitos leluhur, simbol kebangsawanan, dan jaringan nilai yang meneguhkan martabat komunitas. Nama “Jeneponto” berfungsi sebagai penanda administratif sebuah lokasi peta; sedangkan “Turatea” berfungsi sebagai penanda jiwa: simbol yang menautkan kini dan masa lalu, ruang dan makna, individu dan komunitas.

banner 325x300

Dalam tradisi lisan maupun lontara, Turatea berulang muncul sebagai toponim kuno yang menyimpan cerita tumanurung (berasal dari leluhur keagamaan dan bangsawan), garis keturunan karaeng, serta kisah perdagangan dan percampuran budaya antara bangsa Bugis-Makassar.

Misalnya kajian sejarah menegaskan bahwa “Kerajaan Turatea muncul sebagai salah satu kerajaan Makassar di Jeneponto yang membentuk konfederasi Turatea (Toeratea-landen) dari tiga wilayah karaeng-an Binamu, Bangkala, dan Laikang”.

Nama itu menjadi bahasa simbolik bagi komunitas: ia merangkum gagasan tentang “orang atas” bukan karena kasta semata, tetapi karena derajat kultural yang ditandai oleh adat, kepemimpinan, dan ritual kolektif. Di sinilah muncul ekspresi-etika seperti pappasang atau ma’burasa, tata cara adat yang membedakan Turatea dalam kerangka budaya wilayah.

Sisi estetika memainkan peran penting pula. Bunyi “Turatea” membawa irama puitis, kuat, dan berwibawa mengandung rona heroik dan religius yang sulit disamakan dengan sebutan administratif seperti “Jeneponto”. Oleh karena itu, puisi-puisi daerah, nyanyian rakyat, lambang kesenian lokal hingga julukan klub sepakbola seperti “Kuda Turatea” (Persijo Jeneponto) mengadopsi unsur Turatea untuk menegaskan identitas yang bermakna kebanggaan. Panggilan ini membentang hingga diaspora yang merantau: menyebut “Turatea” berarti memanggil rumah batin, sesuatu yang menenangkan sekaligus membanggakan.

Terdapat pula dimensi politis-kultural. Di tengah modernitas dan tata ruang administratif yang memetakan ulang wilayah-wilayah lama, banyak orang memilih nama tradisional untuk mempertahankan memori kolektif dan sebagai bentuk resistensi simbolik terhadap homogenisasi. Memanggil diri “Turatea” adalah sebuah pernyataan: bahwa sejarah lokal lebih dari batas birokrasi, bahwa nilai-nilai komunitas tetap hadir meski kerajaan lama berganti bentuk menjadi kabupaten modern. Dalam penelitian lokal tentang tradisi dan stratifikasi di Turatea, misalnya, tampak bahwa adat A’ matoang dan tradisi lain tetap dipertahankan sebagai peneguh identitas.

Secara psikologis kolektif, penggunaan “Turatea” memberi efek legitimasi moral dan estetis. Ketika seseorang disebut “anak Turatea”, ia tidak hanya diberi label asal-lahir: ia diwariskan tanggungjawab sosial menjaga adat, menghormati leluhur, melanjutkan tradisi. Maka, preferensi nama ini dapat dipandang sebagai sinyal kultural: pilihan bagi komunitas untuk hidup dengan ingatan yang bermartabat. Turatea dan Jeneponto bukan saling meniadakan; yang satu hidup di peta, yang lain hidup di dada. Ketika masyarakat memilih menyebut Turatea, mereka memilih narasi yang ingin dilanjutkan sebuah narasi yang menegaskan bahwa identitas bukan momen satu kali, tetapi praktik berulang: dipanggil, diucap, dijaga.

Analisis dan Implikasi

Preferensi penggunaan “Turatea” lebih daripada “Jeneponto” menjadi menarik bila diamati melalui lensa sosiolinguistik dan etnosemantik: toponim tidak hanya menunjuk lokasi, tetapi juga membawa muatan makna sosial. Studi kehidupan masyarakat Desa Turatea Timur menunjukkan bagaimana tradisi Attoana Songkabala membawa nilai-kenikmatan, nilai-kehidupan, nilai kejiwaan dan nilai kerohanian. Nama Turatea sebagai penanda identitas membantu menjalin ikatan memori kolektif yang memperkuat solidaritas sosial dan menjembatani generasi muda dengan leluhur mereka.

Selain itu, penelitian tentang pengaruh dialek lokal Turatea terhadap kemampuan berbahasa Inggris menunjukkan bahwa “Turatea” juga berfungsi sebagai varian kultural yang melekat dalam penggunaan bahasa sehari-hari menunjukkan bahwa nama ini hidup dalam praktik, bukan hanya simbol. Secara makro, hal ini menunjukkan bahwa toponim tradisional dapat menjadi “marker budaya” yang kuat dalam era globalisasi.

Di sisi kebijakan dan pemerintahan, pemilihan nama Turatea juga dapat dilihat sebagai platform identitas daerah yang unik mempunyai potensi branding kultural yang berbeda dibandingkan label administratif generik. Hal ini penting bagi pengembangan budaya, pariwisata, dan ekonomi kreatif lokal.

Namun, tantangannya juga nyata: apabila identitas lokal hanya terfokus pada simbol, ada risiko bahwa makna aslinya terlupakan atau menjadi stereotip. Maka, penting agar studi tentang Turatea terus dibarengi riset sejarah, etnografi, dan bahasa yang mendokumentasikan makna nama secara kritis.

Penutup
Nama Turatea melihat ke dalam dan ke luar: ke dalam jiwa individu, ke luar relasi kolektif; ke dalam sejarah leluhur, ke luar ke era kontemporer. Ketika seseorang berkata “anak Turatea”, ia bukan hanya berbicara tentang tempat lahir ia berbicara tentang komitmen, tentang ingatan, tentang nilai yang terus bergerak. Dalam dunia yang semakin cepat berubah, nama ini memberi jangkar: kepada identitas yang ingin meneguhkan dirinya di tengah zaman yang sering lupa akar.

Referensi Terkini (Buku & Artikel)

Buku
1. Sahajuddin, dkk. Akpalumba Jarang ri Butta Turatea: Dalam Dimensi Sejarah, Aturan Adat, Nilai Budaya dan Persepsi Masyarakat. Makassar: Pustaka Refleksi, 2020 (Sahajuddin et al. 2020:1)
2. Kusuma, B. A., Mustaufiq, Yudistira, dkk. Jejak Sang Surya di Butta Turatea. Yapensi, 2023 (Kusuma et al. 2023:1)
3. Negoro, S. J. Gerak Katimbang di Butta Turatea. Sampan Institute Books, 2020 (Negoro 2020:1)
4. Jeneponto: Masyarakat dan Kebudayaannya. Kompilasi/monograf (Jeneponto, n.d.:163)
5. Pemikat Hati dari Butta Turatea (Antologi esai lokal), edisi lokal 2023–2025

Artikel Jurnal & Studi Terkait
1. Syawal, I. “Dari Onderafdeeling hingga Terbentuknya Kabupaten Jeneponto (1909-1959)”. Moderasi: Jurnal Studi Ilmu Pengetahuan Sosial, Vol 4 No 1, 2023, hlm. 1-18. DOI:10.24239/moderasi.vol4.iss1.70
2. Syamsuddin, S., Putra, R.A., & Wulansari, A. “An Ethnosemantic Study of Palu Toponym and Its Association with Natural Hazards.” Journal of English Language Teaching and Linguistics, Vol 8 No 1, April 2023. (Syamsuddin 2023)
3. Nugraha, D. D. “Village Names Meaning in Pesanggaran District, Banyuwangi Regency: An Antropolinguistic Study.” International Journal of High Education Scientists (IJHES), 2023, hlm. 1-9. (Nugraha 2023)
4. Wiyana, T.; Bendesa, IKG; Tomahuw, R. “Onomastics and Branding for Culinary Tourism: Evidence Soto Traditional Culinary.” TRJ Tourism Research Journal, Vol 5 No 1, April 2021, hlm. 69-77. DOI:10.30647/trj.v5i1.108
5. (Telaah metodologis) Aji, A. F., Winata, G.I., Koto, F., dkk. “One Country, 700+ Languages: NLP Challenges for Underrepresented Languages and Dialects in Indonesia.” arXiv Preprint, 2022. (Aji 2022). redaksi

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *