Oleh Dr. Nursalim, M.Pd
Ketua APEBSKID Provinsi Kepulauan Riau & Ketua ADOBSI Provinsi Kepulauan Riau
Pagi di kawasan Batam Centre selalu memiliki ritme yang khas. Langkah para pekerja berkejaran dengan waktu, kendaraan mengalir tanpa jeda, dan udara dipenuhi aroma kopi serta makanan jalanan. Di antara kesibukan itu, berdirilah sebuah gerobak bubur sederhana yang setiap hari menjadi tempat bertemunya berbagai lapisan masyarakat. Gerobak itu milik Ustadz Roma, seorang penjual bubur yang dikenal bukan hanya karena sedapnya masakan, tetapi juga karena tutur lembut dan suri teladannya.
Dalam pandangan banyak orang, gelar “ustadz” biasanya identik dengan mimbar dan pengajian. Namun Ustadz Roma memilih jalan berbeda ia berdakwah melalui keteladanan, kesantunan, dan semangkuk bubur yang dimasak dengan hati. Bagi sebagian orang, ini tampak aneh. Namun bagi mereka yang mengenalnya, cara inilah yang membuat kehadirannya selalu dirindukan.
Ustadz Roma datang ke Batam lebih dari sepuluh tahun lalu dengan harapan membangun kehidupan baru. Ia membawa bekal sederhana: beberapa pakaian, kitab-kitab kecil yang ia warisi dari pesantren, serta sebuah panci besar pemberian dari almarhum ibunya. Panci itu dulu digunakan untuk memasak bubur setiap pagi bagi santri dan tamu yang berkunjung ke rumahnya. “Ibu saya selalu bilang, makanan itu bisa menjadi doa kalau dibuat dengan hati yang bersih,” ucapnya saat kami berbincang suatu pagi.
Ketika pertama kali berdagang di sekitar Batam Centre, penghasilannya tidak menentu. Kadang buburnya tidak habis, kadang ia pulang tanpa membawa sisa uang untuk belanja bahan besok. Namun tidak pernah ia melepaskan senyum. “Setiap pagi adalah halaman baru,” katanya. “Yang perlu kita lakukan adalah mengisinya dengan kerja yang jujur.”
Pelan namun pasti, bubur buatan Ustadz Roma mulai digemari. Rasanya berbeda ada kelembutan pada buburnya, ada kehangatan pada kuahnya, dan ada ketulusan pada pelayanan yang diberikannya. Ia tidak pernah terburu-buru melayani pelanggan. Ia memanggil mereka dengan sebutan yang sopan, dan selalu mengucapkan doa kecil sebelum menyerahkan semangkuk bubur kepada siapa pun.
Sikap itu membuat banyak orang kembali. Para pegawai kantor, mahasiswa, karyawan mal, hingga pedagang kecil di sekitar terminal Batam Centre menjadi pelanggan tetapnya. Mereka tidak hanya datang untuk membeli makanan, tetapi juga untuk merasakan ketenangan singkat dari senyum dan kata-kata baiknya.
Dengan usaha yang konsisten, Ustadz Roma berhasil membeli gerobaknya sendiri. Ia melunasi utangnya sedikit demi sedikit, memperbaiki kehidupannya, dan menyekolahkan anak-anaknya. Yang paling menyentuh, ia tidak pernah melupakan masa-masa sulitnya. Setiap Jumat, ia membagikan bubur gratis kepada pekerja harian, tukang sapu jalanan, tukang becak motor, dan siapa pun yang kebetulan lewat.
Bagi Ustadz Roma, kemakmuran bukan tentang banyaknya harta, tetapi tentang luasnya kebermanfaatan. “Kalau kita hanya hidup untuk diri sendiri, hidup ini sempit. Tapi kalau kita hidup untuk orang lain, dunia jadi lapang,” katanya lirih.
Kini, masyarakat sekitar Batam Centre mengenalnya sebagai sosok yang makmur—bukan karena kekayaan materi, tetapi karena hatinya yang lapang, pekerjaannya yang berkah, dan ketulusan yang tidak pernah luntur. Anak-anaknya bisa bersekolah dengan baik, istrinya bisa membantu usaha rumahan, dan kehidupannya berjalan dalam keberkahan yang tenang.
Gerobak bubur Ustadz Roma menjadi pengingat bahwa pekerjaan apa pun, sekecil atau seremeh apa pun terlihat, dapat menjadi jalan kemuliaan jika dilakukan dengan kejujuran dan rasa syukur. Dalam hiruk pikuk kota yang mengejar kecepatan dan penampilan, kisahnya hadir sebagai jeda yang menyejukkan.
Setiap kali aroma buburnya mengisi udara pagi Batam, orang-orang di sekitar Batam Centre tahu bahwa bukan hanya makanan yang ia sajikan, tetapi juga pelajaran hidup. Bahwa makmur bukan semata soal kaya, tetapi soal mampu memberi. Bahwa kebahagiaan bukan hanya soal apa yang kita dapatkan, tetapi apa yang sanggup kita bagikan.
Kisah Ustadz Roma adalah bukti bahwa kemuliaan dapat tumbuh dari tempat-tempat paling sederhana dari sebuah gerobak kecil, dari tangan yang tulus, dan dari hati yang sabar menjaga niat. Ia menunjukkan bahwa menjadi makmur adalah tentang menjalani hidup dengan keikhlasan, kesungguhan, dan cinta untuk sesama.
(Redaksi)

















