sidikfokusnews.com, Pulau Penyengat,- Gagasan pembangunan kembali Tugu Bahasa di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, kini kembali mengemuka, meski sebelumnya pernah gagal dan sempat menyeret sejumlah persoalan hukum terkait dugaan penyalahgunaan anggaran. Kini proyek itu dihidupkan lagi dengan biaya yang melonjak di kisaran Rp30 miliar. Namun di tengah gegap gempita dukungan sebagian pihak atas nama “kemajuan pariwisata” dan “kebanggaan budaya,” muncul suara kritis dari para pecinta sejarah, termasuk dari Tengku Muhammad Fuad, pewaris sah Kesultanan Riau-Lingga.
Tengku Fuad, salah satu dari enam keturunan pewaris Kesultanan yang tersisa di Indonesia—tiga laki-laki dan tiga perempuan, dengan sebagian lainnya bermukim di Malaysia dan Singapura—mengemukakan kekhawatiran mendalam. Baginya, pembangunan Tugu Bahasa bukanlah bentuk penghormatan terhadap sejarah dan budaya Melayu, melainkan justru bentuk alienasi dari akar warisan yang sesungguhnya. “Dalam budaya Melayu tak dikenal istilah tugu, ini konsep baru. Yang kita punya adalah prasasti sebagai penanda, bukan monumen tempat orang berfoto-foto,” tegasnya.
Pulau Penyengat, yang sejak lama dijuluki sebagai pusat kebesaran budaya dan bahasa Melayu, menyimpan banyak situs sejarah yang hingga kini terbengkalai. Salah satunya adalah makam Ibunda Sultan Abdurrahman, yakni Tengku Embung Fatimah binti Sultan Mahmud Muzaffar Syah, memerintah Kesultanan Riau Lingga tahun 1841-1857. wafat di Pahang. Selain itu, situs penting seperti makam Daeng Marewah dan Daeng Celak di Sungai Carang pun kini mulai terancam akibat klaim-klaim kepemilikan pribadi dan pematokan kapling yang tidak jelas dasar hukumnya.
“Kalau mau angkat nilai-nilai budaya, mulailah dari yang asli dan terabaikan. Kita ini bukan sekadar ingin orang datang dan ramai. Tugu itu bisa jadi tempat swafoto, tapi kalau bangunan lama dibiarkan rusak, justru peradaban kita jadi korban. Ini bisa jadi tempat berak burung atau bahkan maksiat. Kita khawatir ini bukan melestarikan, malah mencemarkan,” tambah Tengku Fuad.
Menurutnya, akar dari penguasaan terhadap tanah dan situs budaya tidak bisa dipisahkan dari riwayat asal-usulnya. Dalam pandangan hukum adat Melayu, seseorang baru dapat menguasai dan memanfaatkan tanah jika memiliki kuasa, yang diperoleh dari jalur hukum atau warisan yang sah. Tengku Fuad bahkan menyebutkan adanya surat kuasa turun-temurun, seperti yang ia miliki dari Raja Fatimah, anak Raja Haji Abdullah, yang menguatkan keberadaan dan hak atas tanah-tanah warisan di Penyengat.
Ia juga menyoroti konflik yang terjadi di kawasan Sungai Carang, di mana muncul kapling-kapling tanah pada lokasi-lokasi yang seharusnya menjadi kawasan wakaf dan situs leluhur. “Tanah itu wakaf. Bukan untuk dimiliki pribadi, apalagi diperdagangkan. Pemerintah provinsi, dinas pariwisata, dinas kebudayaan, bahkan pemkot dan pihak berwenang lain harus segera turun tangan. Jangan diam. Ini soal marwah budaya kita,” ujarnya.
Tengku Fuad tidak menolak pengembangan wilayah atau pembangunan yang bersifat positif. Namun baginya, pembangunan harus didasari pada pemahaman sejarah yang mendalam dan penghormatan terhadap nilai-nilai luhur yang diwariskan. Ia mengingatkan, pembangunan tanpa dasar nilai budaya yang kuat akan melahirkan “kecelakaan sejarah”.
“Kita tidak menolak pembangunan, tapi kita ingin pembangunan yang benar. Jangan karena ingin cepat, kita langgar hukum adat. Jangan sampai kebijakan gegabah menimbulkan musibah budaya. Kita jaga marwah, bukan sekadar bangun tugu,” tuturnya.
Dari sisi sosial, meski beberapa masyarakat awam menyambut proyek ini karena dinilai bisa mendatangkan kunjungan wisata dan geliat ekonomi, Tengku Fuad mengajak semua pihak untuk tidak terjebak pada euforia sesaat. “Ramai bukan berarti benar. Foto-foto bukan berarti warisan hidup. Kita harus jaga nilai, bukan sekadar hiasan. Kalau kita paham sejarah, kita tahu mana yang harus dikedepankan,” ucapnya.
Pernyataan Tengku Fuad ini membuka ruang refleksi kritis terhadap cara pemerintah dan pemangku kepentingan dalam merancang pembangunan kebudayaan. Proyek Tugu Bahasa, betapapun niat baiknya, bisa menjadi simbol pengabaian terhadap warisan otentik yang justru menandai peradaban Melayu sejati. Alih-alih menjadi lambang kejayaan, proyek ini bisa menjadi monumen keterputusan sejarah jika tidak diletakkan dalam konteks yang tepat.
Kini bola ada di tangan pemerintah, ahli sejarah, budayawan, dan masyarakat luas: apakah Tugu Bahasa akan tetap dilanjutkan sebagai proyek prestisius tanpa akar, ataukah kita memilih menata ulang prioritas dengan menjadikan situs-situs asli sebagai poros utama pelestarian budaya Melayu.”(TRSF)