sidikfokusNews.com.Letung.- Sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau, tak bisa dilepaskan dari citra kepulauan yang eksotis namun terisolasi. Transportasi laut masih menjadi pilihan utama—murah, tapi lambat dan sangat bergantung pada cuaca. Maka, kehadiran pesawat perintis seperti Wings Air sejatinya adalah napas baru. Sayangnya, napas itu berbau mahal.
Harga tiket pesawat rute Letung–Batam, yang tercatat sebesar Rp 1.528.900 per orang untuk sekali jalan, dinilai terlalu tinggi oleh banyak pihak. Demikian pula rute Batam–Belitung yang tak jauh beda mahalnya. Bagi masyarakat di wilayah kepulauan yang mayoritas hidup dari sektor kelautan dan informal, harga ini bukan hanya memberatkan, tapi sudah mendekati tidak masuk akal. Satu keluarga kecil yang ingin melakukan perjalanan bolak-balik Letung–Batam harus merogoh kocek lebih dari enam juta rupiah—hanya untuk transportasi saja.
Tim sidikfokusNews wawancara melalui WhatsApp dengan Ibu Nisa, perwakilan Wings Air di wilayah operasional, dijelaskan bahwa otoritas harga tiket sepenuhnya berada di tangan manajemen pusat. “Kami hanya fokus operasional dan menjual tiket sesuai harga yang ada di sistem,” kata Nisa singkat. Jawaban ini, meskipun jujur, mempertegas realitas bahwa otoritas pengelolaan rute perintis belum sepenuhnya memperhatikan daya beli masyarakat lokal yang justru menjadi pengguna utama.
Padahal, transportasi udara ke daerah kepulauan bukan hanya soal aksesibilitas, tetapi menyangkut hak dasar warga negara atas mobilitas, layanan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Tiket mahal berarti membatasi pilihan. Tiket mahal berarti memiskinkan akses. Tiket mahal bukan sekadar angka, tapi penanda bahwa pusat belum sepenuhnya mengerti logika hidup di pulau-pulau terpencil.
Pihak maskapai, tentu saja, punya kalkulasi bisnis. Rute pendek, biaya operasional tinggi, tingkat okupansi belum tentu penuh, dan dukungan subsidi mungkin masih minim. Namun pertanyaannya, apakah negara akan membiarkan hukum pasar yang dingin mengatur urusan vital seperti ini? Ketika subsidi energi bisa digelontorkan untuk industri besar, mengapa tidak untuk akses warga pulau?
Animo masyarakat terhadap layanan Wings Air sejatinya cukup baik, terutama saat urusan mendesak seperti rujukan medis, urusan birokrasi ke transit di Batam untuk ke wilayah lain di Kepri atau keperluan pendidikan, dan lain-lain namun, dengan harga yang terus naik, antusiasme itu perlahan berubah menjadi keterpaksaan. Beberapa warga bahkan harus menunda atau membatalkan perjalanan karena harga yang tak terjangkau.
Transportasi udara di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) seharusnya tidak diserahkan sepenuhnya kepada logika korporasi. Diperlukan intervensi negara, baik dalam bentuk subsidi silang, pengaturan tarif batas atas yang lebih rasional, hingga evaluasi berkala atas harga tiket pesawat perintis.
Apalah arti bandara yang megah, jika hanya bisa dilihat dari jauh oleh warga kampung yang tak mampu membeli tiket? Apa guna konektivitas udara jika hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang dari luar, sementara warga setempat harus tetap naik pompong belasan jam hanya untuk ke Batam?
Harga tiket bukan hanya soal rupiah, tetapi soal keadilan. Dan keadilan, jika tidak diperjuangkan dari sekarang, akan terus menjadi barang mewah—sama seperti tiket pesawat menuju kampung sendiri.”(TRSF)
Berita Terkait
“Anambas–Natuna Diperas Pusat: Migas Melimpah, Rakyat Tetap Miskin – Saatnya Daerah Lawan Ketidakadilan Fiskal!” sidikfokusnews.com-Anambas.– Ironi pembangunan kembali menyeruak di dua daerah perbatasan kaya migas, Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau. Di tengah derasnya aliran minyak dan gas bumi dari perut bumi ke kas negara, kedua daerah ini justru tetap menjadi penonton, jauh dari kemakmuran yang dijanjikan. “Anambas adalah penghasil migas terbesar di Kepulauan Riau, tapi lihat kondisi rakyatnya. Infrastruktur tertinggal, kemiskinan masih tinggi, sementara pejabat pusat dan oligarki hidup kaya raya dari hasil bumi daerah,” tegas Muhamad Basyir, tokoh masyarakat yang vokal memperjuangkan keadilan fiskal bagi daerah penghasil migas. DBH Migas Naik, Tapi Masih Jauh dari Keadilan Data resmi menunjukkan, pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) Migas untuk Kabupaten Kepulauan Anambas meningkat signifikan: Rp 30,7 miliar (2021), Rp 75,2 miliar (2022), hingga Rp 100,5 miliar (2023). Kabupaten Natuna mendapat porsi lebih besar karena menjadi wilayah penghasil utama. Namun, angka-angka itu belum mampu menghapus ketimpangan struktural antara pusat dan daerah. “Kita hanya diberi 15 persen. Itu pun hitungannya gelap, data lifting migas tidak transparan. Bagaimana mau bicara keadilan kalau dasar perhitungannya saja tidak jelas?” kata Rinaldy, Kepala Badan Keuangan Daerah Kepulauan Anambas. Menurutnya, pemerintah pusat harus membuka seluruh data lifting minyak dan gas sebagai dasar perhitungan DBH. Tanpa transparansi, daerah penghasil hanya akan terus menerima remah dari meja makan pusat. Aspek Hukum: UU Migas Dinilai Masih Sentralistik Undang-Undang Migas No. 22 Tahun 2001 memang menegaskan bahwa migas adalah kekayaan nasional yang dikuasai negara. Namun, regulasi ini dinilai masih menyisakan celah ketidakadilan bagi daerah. Prof. Dr. Nurhayati Lubis, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, menjelaskan: “UU Migas tidak secara spesifik mengatur pengelolaan sumur migas di atas 12 mil. Semua masih bersifat sentralistik. Padahal, Pasal 18B UUD 1945 memberi ruang bagi daerah dengan karakteristik khusus untuk mengelola sumber daya alamnya secara lebih adil.” Ia menambahkan, peraturan turunan harus segera direvisi agar daerah penghasil migas memperoleh porsi yang layak, bukan hanya sekadar ‘diberi’ pusat secara sepihak. Belajar dari Aceh dan Papua: Daerah Harus Bersatu Kesenjangan fiskal seperti ini bukan hal baru. Aceh dan Papua dulu mengalami hal serupa, hingga akhirnya status Otonomi Khusus diberikan setelah perjuangan panjang para tokoh daerah, kepala daerah, DPRD, dan masyarakat sipil yang bersatu menekan pemerintah pusat. “Anambas harus belajar dari sana. Jangan hanya ribut di grup WhatsApp. Bawa data, bawa tokoh masyarakat, DPRD, kepala daerah, dan langsung audensi dengan pemerintah pusat dan SKK Migas di Jakarta,” ujar Hamdan, tokoh Muda Anambas. Ia menegaskan, perjuangan ini tidak bisa hanya berhenti di wacana. Harus ada roadmap politik yang jelas, dengan dukungan rakyat, agar pemerintah pusat tidak bisa lagi menutup mata. Ekonomi Politik Migas: Siapa yang Diuntungkan? Ekonom energi Dr. Farid Anwar menyebut fenomena ini sebagai local resource curse. “Daerah kaya sumber daya, tapi miskin kuasa. Nilai tambah ekonomi dan fiskal disedot pusat, oligarki tambang, dan korporasi besar. Sementara daerah penghasil hanya menanggung dampak sosial dan ekologisnya,” ujarnya. Ia mengingatkan, tanpa reformasi kebijakan fiskal, daerah penghasil akan tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktural. “Kesejahteraan rakyat tidak boleh hanya menjadi retorika. DBH Migas harus benar-benar berpihak ke daerah penghasil.” Seruan perubahan kini menggema di Anambas dan Natuna Para tokoh menilai, momentum pengesahan RUU Penyitaan Aset dan revisi kebijakan fiskal harus dimanfaatkan untuk menuntut revisi alokasi DBH Migas dan transparansi penuh data lifting migas. “Kita tidak bicara makar. Ini soal keadilan. Hasil bumi daerah jangan terus diperas pusat tanpa imbal balik yang adil. Kalau Aceh dan Papua bisa, Anambas–Natuna juga harus bisa!” tegas Muhamad Basyir. Gerakan ini diharapkan tidak hanya menggugah pemerintah pusat, tetapi juga membangkitkan kesadaran kolektif masyarakat daerah bahwa hak-hak mereka tidak boleh lagi diabaikan.”(redaksiSF)
Post Views: 179