Pulau Tiga, Natuna.sidikfokusnews.com
_Pulau-pulau kecil di Kecamatan Pulau Tiga. Kecamatan subi 7 jam perjalanan laut, kembali berbicara, bukan lewat festival bahari, melainkan lewat kisah getir seorang pasien yang terpaksa menyeberangi laut dengan “pompong ojek” demi mendapat perawatan di RSUD Natuna. Peristiwa ini menyingkap persoalan kronis: gaji nakhoda, tenaga medis, dan kru puskesmas keliling (puskel) belum dibayar sejak Februari—tepat saat edaran pemerintah pusat memerintahkan kontrak pegawai dengan masa kerja di bawah dua tahun tidak diperpanjang.
> “Bagaimana Ibu Bupati melihat kenyataan ini? Tuli, mati, atau enggan membuka telinga?” tulis seorang warga Pulau Tiga, dalam pesan yang viral di aplikasi percakapan.
Dari Klinik Apung ke Pompong Ojek
Hari Rabu (25/6) pukul 09.00 WIB, keluarga pasien HS (56) menunggu sia-sia di dermaga Teluk Sekatung. Biasanya, kapal puskel bersandar saban pekan; tetapi kali ini kapal tak kunjung datang. Nakhoda menolak berlayar—ia harus mencari penghasilan lain setelah enam bulan tanpa gaji.
Tak ada ambulans darat di gugusan pulau berpenduduk 5.400 jiwa itu; pilihan tercepat tinggal menumpang “pompong ojek”, perahu kayu berkekuatan 15 PK, yang biasanya mengantar ikan dan barang kebutuhan pokok. Perjalanan ke RSUD Natuna memakan waktu hampir tiga jam, lebih lama saat ombak besar. Biaya sewa Rp 600.000 harus ditanggung keluarga.
“Pasien kami nyaris pingsan di tengah jalan karena terombang-ambing,” ujar Jumiati, relawan kesehatan setempat. “Kalau puskel aktif, ia sudah dapat pertolongan dasar di kapal—tensi darah, oksigen, infus—sebelum tiba di rumah sakit.”
Akar Masalah: Regulasi Kontrak & Anggaran
Wan Jufri, Penanggung Jawab Program Puskel Dinas Kesehatan Natuna, membenarkan mandeknya operasional. “Bukan salah nakhoda. Mereka juga punya keluarga yang butuh nafkah,” tuturnya saat ditemui di Ranai.
Edaran pusat: Pemberhentian perpanjangan kontrak bagi tenaga di bawah dua tahun, imbas penataan status tenaga non-ASN.
Konsekuensi: Mulai Februari, 12 awak puskel—termasuk dua perawat, satu bidan, dua teknisi, dan seorang nakhoda—tidak lagi tercatat dalam APBD.
Dampak langsung: Gaji lima (5) bulan menunggak, kegiatan bakti kesehatan keliling 26 pulau terhenti.
Pihak Dinas Kesehatan mengaku telah berkonsultasi ke Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Provinsi Riau, namun surat balasan masih “menggantung”. “Ibu Bupati sudah memerintahkan SK perpanjangan kontrak karena layanan ini menyangkut nyawa. Draft SK-nya sedang dikoreksi di Bagian Hukum,” jelas Wan Jufri.
Suara Perawat & Nakhoda
Nur Rahmah, perawat puskel, mengaku dilema. “Kami mencintai pekerjaan ini, tetapi bagaimana menafkahi anak kalau gaji mandek? Saya sudah pinjam koperasi dua kali,” katanya.
Nakhoda Rahmad Syah menimpali, “Bensin kapal satu trip bisa sampai Rp 400 ribu. Tanpa honor, saya rugi. Maka selama ini kapal saya pakai cari ikan buat bertahan hidup.”
Konsekuensi Kesehatan di Daerah Terpencil
Data Dinas Kesehatan 2024 menunjukkan:
Indikator Sebelum puskel berhenti (2023) Setelah berhenti (Maret–Mei 2025)
Rujukan darurat via puskel 38 kasus 4 kasus
Rujukan darurat via pompong/mandiri 12 kasus 33 kasus
Kematian di perjalanan 0 2
Pakar kebijakan kesehatan Universitas Islam Riau, Dr. Siti Zuhra, menilai keadaan itu “darurat administratif”. “Edaran pusat perlu mekanisme transisi agar daerah kepulauan tidak lumpuh. Model kontrak jangka pendek memang harus dibenahi, tetapi penghentian tiba-tiba tanpa skema pengganti sama saja mencabut jembatan penghubung layanan dasar,” ujarnya.
Permintaan Warga & Langkah ke Depan
Masyarakat Pulau Tiga menuntut:
Pembayaran gaji tertunggak dalam APBD Perubahan 2025.
Pengecualian regulasi kontrak bagi tenaga kritis daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Pemutakhiran jadwal puskel dan hotline rujukan laut.
DPRD Natuna telah memanggil Dinkes dan Badan Keuangan Daerah untuk dengar pendapat 1 Juli mendatang. Komisi IX DPR RI juga dijadwalkan turun ke Natuna pekan kedua Juli.
Sementara regulasi masih tarik-uluran, pasien di Pulau 3, Serasan, Midai, dan pulau-pulau kecil lain tetap berhadapan dengan ombak tinggi sebagai “koridor IGD” mereka. Tanpa kepastian honor bagi awak puskel, kapal putih bertuliskan “Pelayanan Kesehatan Bergerak” itu akan terus berlabuh di dermaga Dinas—dan suara sirine darurat berganti deru mesin pompong di lautan Natuna yang tak pernah benar-benar tenang. Redaksi