banner 728x250

Tenda UMKM di Halaman Gedung Daerah: Pelanggaran Tata Ruang Budaya dan Dugaan “Pencurian Momentum” di Tengah Selawat Akbar Kepri

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Tanjungpinang — Malam yang seharusnya dipenuhi lantunan selawat dan kekhidmatan justru berubah menjadi potret buram tata kelola ruang publik di Kepri. Selawat Akbar Provinsi Kepri, yang digelar pada Jumat malam, meninggalkan kontroversi setelah halaman Gedung Daerah—ruang yang selama ini menjadi simbol kehormatan dan pusat kegiatan resmi pemerintahan—mendadak dipenuhi tenda-tenda pedagang kuliner dadakan.

banner 325x300

Kehadiran tenda-tenda tersebut bukan hanya menyalahi fungsi ruang bersejarah, tetapi juga menghadirkan aroma kuat dugaan praktik tidak sehat. Di tengah ramainya jamaah, muncul indikasi bahwa lapak-lapak itu diisi oleh oknum yang memanfaatkan momen keagamaan untuk kepentingan ekonomi pribadi. Para pelaku UMKM di Zona C Taman Gurindam 12—yang selama ini dibina melalui regulasi ketat dan sistem penataan resmi—merasa dikhianati oleh peristiwa tersebut.

Mereka menilai bahwa pemerintah belum menunjukkan keberpihakan yang tegas. Pedagang binaan yang seharusnya diberdayakan justru disisihkan, sementara kelompok pedagang “dadakan” yang tidak terdaftar dalam Perkumpulan UMKM Taman Gurindam 12 mendapat ruang strategis di halaman Gedung Daerah. Ruang yang selama ini steril dari kegiatan komersial tiba-tiba menjadi arena jual-beli berbasis kupon, dengan setting tenda menyerupai bazar malam.

Kemarahan ini semakin membesar karena pola yang muncul dianggap sebagai modus terselubung. Tenda-tenda itu dikabarkan awalnya disiapkan untuk kegiatan di Jalan Merdeka selama tiga hari, namun dialihkan ke Gedung Daerah dengan dalih pengunjung sepi dan padatnya agenda di Tugu Sirih. Pergeseran lokasi itu diduga dimanfaatkan oleh oknum untuk menggelar lapak di ruang kenegaraan, memunculkan tudingan bahwa terjadi “pencurian momentum”—komersialisasi tersamar di balik acara keagamaan.

Dari perspektif sejarah dan budaya, tindakan ini dinilai melukai integritas ruang. Sejarawan lokal Kepri menegaskan bahwa Gedung Daerah bukan hanya infrastruktur pemerintahan, tetapi simbol perjalanan identitas Kepri sejak awal pembentukan provinsi. “Halaman Gedung Daerah tidak boleh diperlakukan sebagai ruang serbaguna. Ia memiliki memori institusional dan nilai kehormatan. Ketika ruang ini disulap menjadi area bazar komersial, apalagi dengan indikasi penyewaan tenda oleh pihak tertentu, itu menunjukkan rapuhnya penghormatan terhadap warisan kenegaraan,” tegasnya.

Antropolog budaya Melayu, Sri Wulandari, M.A., juga mempertanyakan sensitivitas pemerintah dalam mengelola tata ruang budaya. Menurutnya, Taman Gurindam 12 dibangun untuk menjadi ruang wisata budaya dan UMKM yang terstruktur. Kegiatan pemerintahan yang membutuhkan dukungan kuliner seyogianya melibatkan pedagang binaan Zona C. “Ketika tenda asing justru muncul tanpa mekanisme jelas, itu bukan sekadar merusak sistem pembinaan, tetapi juga mempermalukan regulasi yang selama ini diterapkan kepada UMKM resmi,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa ruang kenegaraan memiliki apa yang oleh akademisi disebut sebagai “SD-Card budaya”—memori kolektif, identitas institusional, dan nilai marwah yang melekat. Menghadirkan lapak komersial dadakan di ruang tersebut sama artinya dengan merusak keutuhan nilai tersebut.

Sumber internal yang meminta identitasnya dirahasiakan menyebut bahwa praktik-praktik ini dikemas sedemikian rapi sehingga tampak seperti bagian resmi acara, padahal ada aktivitas yang menyerupai bazar dengan penukaran kupon. Situasi ini memperkuat dugaan bahwa ada pihak-pihak yang lihai memanfaatkan celah administratif dan kepadatan agenda untuk memasukkan kepentingan ekonomi pribadi.

Para ahli sepakat bahwa insiden ini harus menjadi bahan evaluasi mendesak bagi Pemerintah Provinsi Kepri. Gedung Daerah bukanlah pasar malam, bukan pula ruang yang bisa disesaki tenda berdasarkan keinginan oknum tertentu. Ia adalah simbol marwah pemerintahan yang harus dijaga dari praktik komersialisasi tanpa nilai historis.

Jika tata kelola ruang bersejarah tidak diperketat dan mekanisme pembinaan UMKM tidak ditegakkan secara konsisten, maka sengkarut seperti ini akan terus berulang. Pembinaan UMKM akan berubah menjadi slogan kosong, sementara ruang bersejarah semakin rentan ditunggangi kepentingan sesaat.

Selawat Akbar yang seharusnya menebar keberkahan justru membuka luka baru tentang tata kelola ruang publik di Kepri. Semoga polemik ini menjadi titik balik, bukan sekadar catatan kontroversi, agar ke depan marwah ruang budaya dan pemerintahan benar-benar dijaga dan dihormati sebagaimana mestinya.

arf-6

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *