sidikfokusnews.com.Tanjungpinang.-Proyek lanjutan pembangunan Taman Gurindam 12 kembali menuai kritik keras dari masyarakat, kali ini datang dari Gerakan Anak Melayu Negeri Riau (GAMNR). Bukan tanpa alasan, pembangunan yang seharusnya menjadi bagian dari revitalisasi ruang publik di pesisir kota Tanjungpinang ini justru dinilai menyingkirkan nilai-nilai estetika, keterbukaan budaya, serta jati diri Melayu itu sendiri.
Ketua GAMNR, Said Ahmad Syukri, yang akrab disapa Sas Joni, menyuarakan kekecewaan mendalam atas arah pembangunan terbaru yang disebutnya sebagai pengingkaran terhadap semangat ruang publik yang hidup dan terbuka. “Taman Gurindam 12 bukan sekadar proyek beton, ia adalah simbol terbuka warisan Raja Ali Haji. Ketika dibentengi dengan tembok, maka yang dipenjara bukan hanya pandangan ke laut, tapi juga semangat keterbukaan budaya itu sendiri,” ujarnya lantang.
Di sepanjang sisi tepi taman, kini berdiri tembok beton setinggi sekitar satu meter yang secara visual memisahkan laut dari darat. Kehadiran struktur itu dinilai tak hanya menutup pandangan warga terhadap laut—ikon utama kawasan pesisir—tetapi juga memutuskan hubungan emosional masyarakat dengan warisan maritim dan nilai keterbukaan yang menjadi ruh budaya Melayu.
GAMNR melihat bahwa proyek senilai Rp4 miliar ini tidak mengedepankan sensitivitas budaya dan nilai sosial masyarakat pesisir. Sebaliknya, pembangunan dilakukan secara teknokratis dan terkesan hanya untuk memenuhi indikator administratif belaka. “Ini bukan hanya soal tembok, ini soal mentalitas kekuasaan yang gagal memahami esensi ruang bersama. Apakah Pemprov Kepri membangun untuk rakyat atau untuk laporan proyek semata?” kritik Sas Joni.
Taman Gurindam 12, yang sebelumnya dikenal sebagai ruang interaksi terbuka—menjadi tempat warga bersantai, seniman tampil, dan generasi muda berinteraksi dengan identitas Melayunya—kini berubah wajah. Area tersebut kini dipenuhi material proyek, debu, dan sekat-sekat yang menandai keterputusan antara ruang, rakyat, dan laut. Transformasi taman itu kini menuai pertanyaan: untuk siapa sesungguhnya taman ini dibangun?
GAMNR menilai bahwa proses pembangunan tidak hanya minim partisipasi warga, tetapi juga mengabaikan prinsip perencanaan yang berbasis kearifan lokal. Padahal, jika ditata dengan pendekatan yang lebih partisipatif, Taman Gurindam 12 dapat menjadi etalase budaya yang mencerminkan identitas Kepri sebagai provinsi maritim yang kuat akar budaya dan sejarahnya.
Menurut Sas Joni, tindakan memasang tembok di ruang publik tepi laut adalah bentuk simbolik dari pemutusan hubungan antara penguasa dan rakyat. “Laut bagi orang Melayu bukan sekadar horizon air, ia adalah ruang hidup, sumber rezeki, dan jendela masa depan. Ketika laut dibatasi oleh beton, maka narasi kebudayaan kita ikut dibekukan,” ucapnya.
GAMNR mendesak agar proyek ini ditinjau ulang secara menyeluruh. Mereka menegaskan bahwa penataan ruang publik tidak boleh dilakukan secara kaku dan seragam seperti proyek teknis biasa. Justru harus dibangun dengan pendekatan budaya, humanis, dan menghormati identitas kawasan. Mereka menginginkan pelibatan para budayawan, arsitek lokal, dan komunitas masyarakat dalam merancang ulang wajah taman tersebut.
Bagi GAMNR, Taman Gurindam 12 bukanlah ruang eksklusif yang ditata tanpa rasa dan akal. Ia adalah milik bersama dan semestinya menjadi ruang ekspresi warga, titik temu lintas generasi, dan panggung budaya yang hidup.
Sas Joni pun mengingatkan agar jangan sampai nama “Gurindam” hanya menjadi hiasan proyek dan alat branding pemerintah. “Jangan sampai Gurindam yang kita banggakan hanya tinggal nama, sementara jiwanya dilucuti demi laporan pekerjaan fisik belaka,” tutupnya.
Kritik GAMNR ini menggugah satu hal penting: bahwa membangun ruang publik di tanah Melayu harus lebih dari sekadar proyek beton. Ia harus menjadi representasi jiwa, cerita, dan kebersamaan rakyat yang merayakan budayanya sendiri.”(Tim Redaksi SF)