Oleh: Robby Patria
Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat
Pelantikan Menteri Keuangan Purbaya oleh Presiden Prabowo Subianto langsung mengundang polemik. Belum genap beberapa jam setelah dilantik, gelombang demonstrasi mahasiswa menyeruak. Ucapan Purbaya yang dianggap menyinggung perjuangan rakyat memicu BEM UI untuk bergerak cepat menyampaikan aspirasi ke DPR. Inilah fenomena unik: seorang menteri keuangan langsung diuji jalanan di hari pertamanya menjabat.
Kebijakan awal Purbaya pun tak kalah kontroversial. Berbeda dengan pendahulunya, Sri Mulyani, yang menahan sebagian dana di Bank Indonesia sebagai tameng menghadapi gejolak global, Purbaya memilih menyalurkannya ke bank-bank umum milik negara. Argumennya sederhana: kredit akan mengalir ke masyarakat, ekonomi bergerak, konsumsi meningkat. Sebuah resep yang mengingatkan pada optimisme Adam Smith tentang mekanisme pasar yang diyakini akan menyeimbangkan diri.
Namun sejarah mencatat luka besar. Krisis 1998 menjadi pelajaran pahit ketika banyak bank kolaps karena kredit macet, hingga pemerintah harus menyuntikkan dana jumbo demi penyelamatan. Strategi Sri Mulyani—yang kerap dicap konservatif—justru berakar pada pengalaman tersebut. Menahan likuiditas di Bank Indonesia adalah strategi bertahan, sebuah “jurus selamat” agar negara punya amunisi ketika badai datang tiba-tiba.
Tahun 2008, dunia kembali diguncang kejatuhan Lehman Brothers dan Bear Stearns, simbol rapuhnya sistem keuangan global. Sri Mulyani saat itu berpegang teguh pada prinsip kehati-hatian, dan terbukti Indonesia relatif aman melewati gelombang besar tersebut. Pertanyaannya, apakah Purbaya dengan kepercayaan dirinya siap menghadapi dinamika global yang hari ini bahkan lebih kompleks, dari perang dagang hingga krisis pangan dan energi?
Kebijakan lain yang tak kalah penting adalah keputusan untuk tidak menahan dana transfer ke daerah. Jika dana ini mengalir penuh, APBD daerah kembali normal. Tetapi di sisi lain, bisa mengurangi ruang fiskal pusat untuk mendanai program nasional seperti makan bergizi gratis yang menelan anggaran fantastis. Sri Mulyani pernah memangkas transfer daerah justru karena struktur keuangan banyak daerah rapuh—ada yang PAD-nya hanya sembilan persen dari total belanja. Dengan 91 persen belanja bergantung pada pusat, otonomi hanyalah ilusi.
Prabowo tentu menyadari dilema ini. Di satu sisi, komitmen terhadap janji politik membutuhkan dukungan fiskal. Di sisi lain, kestabilan makro ekonomi tidak boleh dikorbankan. Sri Mulyani, dengan jam terbang tinggi di level global, mampu menjaga keseimbangan itu. Tak heran tiga presiden mempercayainya. Ia mengakhiri masa jabatannya dengan air mata haru, meninggalkan jejak “bendahara negara” yang tak hanya piawai dalam teknis, tetapi juga simbol integritas.
Pemilihan Purbaya pun menuai perdebatan. Banyak kalangan menilai stok ekonom Indonesia masih melimpah: dari Chatib Basri, Anggito Abimanyu, Mari Pangestu, hingga sederet akademisi dari UI, UGM, INDEF, dan ICMI. Namun yang muncul justru Purbaya, yang disebut-sebut dipilih berkat pengaruh mentornya. Perbandingan dengan Malaysia pada masa Tun Mahathir tak terhindarkan. Mahathir mempercayakan kursi Menkeu kepada Zeti Akhtar Aziz, ekonom tangguh yang berani melawan arus doktrin IMF, dan terbukti menyelamatkan Malaysia dari krisis Asia.
Di Amerika Serikat, Donald Trump juga menunjukkan bahwa kursi menteri keuangan bukan posisi sembarangan. Scott Bessent dipilih dengan rekam jejak panjang di kancah global, dari investasi hingga pergaulan akademis di Yale. Bandingkan dengan beban yang kini ditanggung Indonesia: utang ribuan triliun, pendapatan negara yang terbatas pada pajak, pengangguran tinggi, dan kemiskinan yang membelit.
Dalam kondisi seperti ini, jabatan Menkeu tak bisa diisi oleh sosok yang sekadar “cukup baik”. Dibutuhkan figur dengan jejak rekam mentereng, piawai di ruang domestik sekaligus dihormati di forum internasional. Purbaya memang lulusan PhD ekonomi dari Amerika, sama seperti Sri Mulyani. Tetapi gelar saja tak cukup. Publik menuntut bukti nyata apakah ia mampu menjaga stabilitas fiskal sekaligus mengeksekusi program ambisius Prabowo, termasuk makan siang gratis yang dianggap sebagian kalangan hanya bersifat konsumtif tanpa memacu pertumbuhan.
Teori ekonomi pun kini kembali diperdebatkan. Adam Smith yang percaya pasar bebas versus John Maynard Keynes yang menekankan intervensi negara. Sri Mulyani lebih dekat pada Keynes, sementara Purbaya tampak condong ke Smith. Apakah mekanisme pasar cukup kuat menopang Indonesia? Atau justru intervensi negara yang harus dominan? Jawabannya akan terlihat dalam hitungan bulan, bahkan minggu.
Waktu akan menguji. Jika dalam satu tahun kinerja ekonomi tak stabil, jangan berlama-lama mempertaruhkan nasib bangsa. Menkeu adalah jabatan vital. Kesalahan di sini akan berdampak luas, dari stabilitas fiskal hingga legitimasi politik. Seperti kata Harry Azhar Azis, sesama doktor ekonomi dari Amerika yang pernah berdebat panas dengan Sri Mulyani, “Buku yang kita baca mungkin sama, tapi cara memahaminya bisa berbeda.” Perbedaan pemahaman inilah yang kini sedang diuji.
Purbaya telah memulai langkah pertamanya. Namun bangsa ini menunggu bukan sekadar langkah, melainkan lompatan. Jika tidak, sejarah hanya akan mencatatnya sebagai menteri keuangan pertama yang didemo beberapa jam setelah dilantik—dan gagal membuktikan diri di medan berat yang bernama perekonomian Indonesia.”redaksiSF