banner 728x250
Budaya  

Tanah Ulayat Warisan Kesultanan Riau-Lingga: Antara Sengketa, Hukum, dan Kebenaran Sejarah

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.-Polemik mengenai keberadaan dan legalitas tanah ulayat yang diklaim sebagai warisan Kesultanan Riau-Lingga kembali mencuat. Sengketa ini menjadi semakin kompleks ketika upaya hukum dilakukan, namun proses litigasinya menuai kritik dari sejumlah tokoh dan pengamat hukum.

banner 325x300

Chaidar Rahmat, pengamat hukum tata negara, menyebut bahwa dalam beberapa perkara yang menyangkut klaim warisan tanah kesultanan, justru yang terlihat adalah ketidaksiapan para penggugat dalam menempuh jalur hukum secara komprehensif.

“Terlepas dari objek dan materi gugatan yang tidak dijelaskan secara mendetail, proses hukum yang dilalui justru tampak seperti tidak menghormati mekanisme peradilan. Bayangkan, perkaranya belum selesai di tingkat pertama, tapi sudah menunjuk kuasa hukum untuk vanding, kasasi, hingga peninjauan kembali. Ini bukan soal emosi atau simbolik semata, tapi soal membuktikan legalitas,” ujarnya.

Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: jika para penggugat sendiri tidak yakin akan keadilan yang bisa diperoleh dari lembaga peradilan, mengapa menggugat ke pengadilan?

Ulayat, Swapraja, atau Eigendom?

Dalam perspektif agraria, klaim atas tanah adat atau tanah kesultanan tidak dapat semata-mata berdasar pada dokumen historis atau peta wilayah yurisdiksi. Dibutuhkan bukti konkret dan legal, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960.

“Buktikan dulu haknya secara sah,” tambah Chaidar. “Misalnya, apakah tanah yang digugat itu merupakan hak waris sah dari Kesultanan yang telah didaftarkan pada kantor agraria (sekarang BPN)? Apakah sudah ada dokumen dari Sultan atau pengakuan dari Pemerintah Kolonial Belanda seperti Eigendom Verponding? Semua itu harus terang.”

Undang-undang tersebut memberikan waktu transisi dan mekanisme pengakuan ulang bagi tanah ulayat, tanah swapraja, atau tanah kolonial yang diwarisi dari rezim hukum sebelumnya. Namun, sejauh ini, belum ada dokumen yang secara sah mencatat permohonan registrasi dari pihak Kesultanan ke BPN.

“Jangan sampai publik tertipu dengan pengibaran dokumen berupa peta daerah takluk kesultanan. Itu hanyalah batas yurisdiksi, bukan sertifikat kepemilikan,” tambahnya.

Klaim Sepihak dan Peran Gubernur

Isu ini juga menyentuh ranah kebijakan lokal. Tersiar kabar bahwa almarhum Gubernur Kepri, Muhammad Sani, disebut-sebut pernah mencabut pengakuan atau menghapus klaim terhadap tanah ulayat tertentu. Namun hingga kini, dokumen atau keputusan resminya belum pernah dipublikasikan.

Salah satu, aktivis budaya Melayu dan pegiat sejarah lokal, mengatakan penting bagi semua pihak untuk menelaah dan membongkar dokumen-dokumen secara jujur dan terbuka.

“Kalau memang pernah dicabut oleh Pak Sani, seperti apa cabutannya? Harus ada keterbukaan dokumen. Jangan sampai klaim warisan Kesultanan ini menjadi isu politik atau alat tekanan semata,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa perdebatan ini tidak akan selesai jika hanya disandarkan pada narasi emosional tanpa landasan hukum yang kuat. “Harus ada pembuktian menyeluruh: apakah tanah itu betul-betul telah diregister atas nama Kesultanan, atau hanya bagian dari peta klaim sejarah belaka,” tegasnya.

Pandangan Para Ahli: Transparansi dan Kepastian Hukum

Pakar hukum agraria Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Bambang Adi Nugroho, mengatakan bahwa semua jenis tanah di Indonesia yang hendak diklaim—terutama yang berasal dari pemerintahan lama atau kerajaan—harus melalui proses konversi hak melalui instrumen UUPA 1960.

“Jika tidak ada proses register ulang saat UUPA berlaku, maka tanah tersebut akan masuk ke dalam penguasaan negara, kecuali ada putusan pengadilan yang menyatakan lain,” jelasnya.

Sementara itu, Mayjen TNI (Purn) Chairul Hakim, yang pernah menjadi staf ahli pertahanan wilayah barat, menegaskan pentingnya pemetaan ulang terhadap tanah-tanah adat dan ulayat di wilayah strategis seperti Batam.

“Jangan sampai sengketa tanah adat ini dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk melemahkan kedaulatan negara. Legalitas dan kedaulatan harus seimbang. Negara tidak boleh kalah oleh klaim sejarah tanpa dasar,” ujarnya.

Menuju Penyelesaian yang Jujur. Permasalahan ini bukan sekadar soal kepemilikan, tetapi juga menyangkut kehormatan sejarah, kejelasan hukum, dan hak masyarakat. Transparansi atas dokumen dan keputusan pemerintah terdahulu sangat dibutuhkan untuk menghindari polemik berkepanjangan.

Pemerintah daerah, Kementerian ATR/BPN, dan Kesultanan Riau-Lingga sendiri perlu duduk bersama untuk menuntaskan persoalan ini secara terbuka dan adil. Hanya dengan begitu, kejelasan antara hak adat dan hukum negara bisa benar-benar dipahami masyarakat.”(TRSF)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *