banner 728x250

Tamparan bagi Kebebasan Pers: Jurnalis Batam Pos Diusir dari Sidang DPRD Anambas

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Anambas, 29 Juli 2025. — Dunia jurnalistik kembali menghadapi preseden buruk dalam praktik demokrasi lokal. Kali ini, tamparan terhadap kebebasan pers terjadi di ruang sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kepulauan Anambas. Seorang jurnalis Batam Pos, Ihsan Imaduddin, diusir secara paksa dari ruang sidang saat meliput pengesahan APBD Perubahan 2025, Selasa (29/7).

banner 325x300

Insiden terjadi ketika Ihsan hendak mengambil dokumentasi penandatanganan berita acara pengesahan APBD oleh Bupati Anambas dan Ketua DPRD. Tanpa peringatan, seorang petugas Satpol PP bernama Herman Supriadi menariknya keluar dari ruangan secara fisik, disaksikan langsung oleh para pejabat dan undangan yang hadir.

“Saya hanya meliput. Tidak membuat keributan. Tapi saya ditarik, sementara dua orang lain juga ambil gambar dan tidak diganggu. Mungkin karena saya tidak pakai pakaian safari hitam,” ujar Ihsan, yang merasa diperlakukan diskriminatif.

Belakangan diketahui, tindakan Herman dilakukan atas perintah seorang staf Sekretariat DPRD bernama Mukhsin. Namun hingga laporan ini dibuat, tidak ada klarifikasi resmi dari pihak Sekretariat DPRD maupun institusi Satpol PP terkait insiden tersebut.

Jurnalis Diperlakukan Seperti Pengganggu Demokrasi?

Insiden ini langsung menuai reaksi keras dari kalangan jurnalis di Kepulauan Riau. Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Anambas, Muhammad Ramadhan, menyatakan bahwa pengusiran ini adalah bentuk penghalangan kerja jurnalistik yang terang-terangan melanggar hukum.

“Ini bukan sekadar soal dikeluarkan dari ruangan. Ini adalah pengingkaran terhadap fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi. Ini mencerminkan masih ada aparatur pemerintah yang memandang jurnalis sebagai ancaman, bukan mitra transparansi,” tegas Ramadhan.

Ia menambahkan bahwa seluruh proses rapat paripurna DPRD adalah forum publik yang wajib terbuka, apalagi jika menyangkut anggaran negara. Menurutnya, tindakan itu tidak bisa dibiarkan dan harus mendapat perhatian serius dari lembaga pengawas serta aparat penegak hukum.

Pers Bekerja di Bawah Perlindungan Undang-Undang. Menurut Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, setiap orang yang menghambat atau menghalangi kegiatan jurnalistik dapat dipidana. Artinya, tindakan pengusiran terhadap jurnalis yang sedang menjalankan tugas peliputan di ruang publik berpotensi sebagai tindak pidana penghalangan kerja pers.

Dr. Irwan Siregar, pakar hukum media dari Universitas Indonesia, menyebut bahwa tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran serius terhadap hak publik untuk tahu (right to know).

“Jika pengusiran itu tidak disertai alasan hukum yang jelas, maka DPRD dan Satpol PP bisa dianggap melanggar UU Pers. Apalagi sidang paripurna itu bukan forum tertutup, dan tidak ada larangan peliputan resmi,” ujar Irwan.

Senada dengan itu, Eka Marlina, peneliti dari Institute for Democratic Journalism (IDJ), menyoroti adanya kecenderungan meningkatnya tindakan represif terhadap wartawan di ruang-ruang pemerintahan daerah.

“Masalahnya bukan sekadar soal perizinan atau protokoler. Ini soal mindset: sebagian pejabat daerah belum menginternalisasi prinsip bahwa jurnalis adalah bagian dari sistem checks and balances dalam demokrasi. Kita ini bukan negara otoriter,” jelasnya.

Sinyal Bahaya untuk Demokrasi Lokal. Pengusiran terhadap Ihsan bukan hanya soal pelanggaran etika, tetapi juga mencerminkan kerapuhan sistem demokrasi lokal. Kegiatan peliputan sidang pengesahan APBD seharusnya menjadi kesempatan bagi masyarakat, melalui jurnalis, untuk mengawasi proses politik yang menyangkut penggunaan uang rakyat.

“Kalau peliputan sidang saja sudah dilarang, ini sinyal bahaya. Apa yang sebenarnya ingin disembunyikan? Ketertutupan terhadap pers justru menimbulkan kecurigaan publik terhadap transparansi anggaran,” ujar Fauzan Alfi, analis tata kelola daerah dari Pusat Kajian Transparansi dan Otonomi Daerah (Puskatoda).

Fauzan menambahkan, pengesahan APBD Perubahan kerap menjadi titik rawan pengalihan anggaran secara politis, sehingga keterbukaan informasi publik mutlak diperlukan.

Tuntutan Evaluasi dan Permintaan Permohonan Maaf. Komunitas pers mendesak agar Sekretariat DPRD dan Satpol PP Kabupaten Kepulauan Anambas segera memberikan klarifikasi terbuka, meminta maaf secara resmi, dan menjamin insiden serupa tidak terulang.

Jika tidak, maka PWI dan organisasi jurnalis lainnya akan mempertimbangkan langkah hukum dan etik, termasuk melapor ke Dewan Pers dan Komisi Informasi.

Karena Demokrasi Tanpa Pers, Adalah Tipuan. Kebebasan pers bukan sekadar hak wartawan, tapi hak masyarakat untuk mengetahui kebenaran. Ketika akses pers dibungkam, maka transparansi pemerintahan menjadi fiksi, dan rakyat kehilangan instrumen pengawasan.

Kini, semua mata tertuju pada DPRD Anambas. Apakah mereka bersedia menjunjung demokrasi dan mengakui kesalahan, atau justru membiarkan arogansi kuasa menggusur ruang publik dari sorotan kamera?

Karena seperti kata pepatah jurnalistik: ‘Berita bisa disembunyikan, tapi kebenaran akan menemukan jalannya.”

(Tim Redaksi sidikfokusnews.com mengutuk dan mengecam perilaku petugas keamanan kantor DPRD Kabupaten Anambas kepada jurnalis Batam Pos).

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *