banner 728x250

Taman Gurindam 12 dan Kontroversi Lelang Aset: Antara Cita-Cita Besar Pariwisata dan Ancaman Moral Hazard

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-anjungpinang- Kepulauan Riau.– Dukungan terhadap upaya Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dalam menata kawasan Taman Gurindam 12 sebagai magnet pariwisata, destinasi kuliner, dan ruang rekreasi masyarakat sebenarnya cukup kuat. Sejumlah tokoh, termasuk Dato Chaidar Rahmat, mengakui gagasan Gubernur yang dilengkapi penjelasan Kepala Dinas PU dan Kepala Dinas Pariwisata merupakan langkah logis untuk memperindah wajah ibu kota provinsi. Ia menilai pembangunan Pulau Penyengat, Sungai Carang, Akau Potong Lembu, hingga revitalisasi pasar adalah bukti konkret keseriusan pemerintah. Semua itu, menurutnya, pantas diapresiasi karena selaras dengan visi menghadirkan ruang publik modern yang ramah bagi warga dan wisatawan.

banner 325x300

Meski demikian, Chaidar menegaskan ada garis tegas yang tak bisa diabaikan: munculnya tanda tanya besar dalam kebijakan melelang kerja sama pengelolaan aset Taman Gurindam 12 seluas 7.400 meter persegi. Ia mempertanyakan mengapa nilai kerja sama yang dibebankan kepada pihak swasta hanya sebesar Rp3 miliar. Apakah angka itu berlaku untuk seluruh kawasan atau hanya sebagian blok dari empat hingga lima blok bangunan? Apakah benar angka tersebut hasil appraisal lembaga independen KJPP? Dan mengapa hasil appraisal itu tidak pernah dipublikasikan, padahal lahan reklamasi di kawasan strategis dengan jangka waktu kerja sama 30 tahun mestinya bernilai jauh lebih tinggi.

Menurut Chaidar, skema ini berpotensi menyerupai pemberian konsesi jangka panjang. Jika nilai Rp3 miliar hanya untuk membangun gedung komersial yang kemudian dipakai swasta untuk bisnis kuliner, restoran, dan sejenisnya, maka pemerintah sesungguhnya sedang mengizinkan pihak ketiga menguasai aset strategis dengan potensi keuntungan sangat besar. Dengan perhitungan payback period hanya 8–10 tahun, investor akan menikmati keuntungan bersih hingga 20 tahun lebih setelahnya. “Ini bukan sekadar kerja sama, tapi konsesi yang membuat daerah bisa kehilangan nilai ekonomis dari asetnya,” tegasnya.

Selain itu, ia menyoroti kesamaan fungsi kawasan 7.400 meter persegi tersebut dengan Akau Potong Lembu. Jika kawasan kuliner itu bisa dikelola oleh BUMD Kota Tanjungpinang, mengapa Taman Gurindam tidak bisa dilakukan dengan pola yang sama? Bagi Chaidar, menyerahkan pengelolaan aset strategis ke BUMD justru merupakan wujud nyata tata kelola pemerintahan yang baik, di mana keuntungan kembali ke daerah, bukan jatuh ke kantong swasta. Ia menilai, dengan melibatkan BUMD, pemerintah juga dapat membangun model kerja sama yang lebih sehat, etis, dan dekat dengan masyarakat.

Masalah lain yang tak kalah penting adalah pembiayaan pengelolaan dua blok lahan parkir yang kabarnya digratiskan untuk masyarakat. Hingga kini belum ada penjelasan jelas apakah biaya itu ditanggung dari hasil lelang kerja sama 30 tahun atau dipotong dari bagi hasil keuntungan pengelola gedung. Ketidakjelasan ini, menurut pengamat kebijakan publik, berisiko memunculkan celah yang menimbulkan moral hazard. “Transparansi soal ini krusial. Kalau tidak, masyarakat bisa menilai ada klausul tersembunyi yang justru merugikan daerah,” kata Dr. Herman Fadli, pakar tata kelola publik.

Kekhawatiran publik semakin menguat ketika mengingat pengalaman buruk pengelolaan aset daerah sebelumnya. Kasus Kompleks Dendang Ria menjadi contoh nyata: kawasan strategis itu hanya dihargai Rp60 juta per tahun selama 30 tahun, bahkan kontraknya kemudian diperpanjang lagi 30 tahun berikutnya. Situasi itu bukan hanya merugikan keuangan daerah, tapi juga menimbulkan kasus hukum yang mencoreng tata kelola pemerintahan. “Kita sudah punya catatan kelam, jangan sampai kesalahan serupa diulang di Taman Gurindam 12,” tegas Chaidar.

Salah satu Aktivis Muda Kepulauan Riau, menambahkan bahwa pola seperti ini seringkali berujung pada praktik yang tidak adil bagi masyarakat. “Kalau daerah memberi ruang kepada swasta dengan nilai murah, sementara potensi keuntungan mereka besar, maka sama saja daerah sedang menggadaikan masa depan aset publik. Kecurigaan moral hazard itu wajar, apalagi jika tidak ada keterbukaan dokumen appraisal dan kontrak kerja sama,” katanya.

Pemerintah daerah sendiri membantah keras tudingan adanya moral hazard. Kepala Dinas PU menyebutkan nilai Rp3 miliar bukan ditentukan secara sepihak, melainkan berdasarkan hasil appraisal KJPP yang independen. Ia menegaskan bahwa pemerintah menjalankan proses sesuai regulasi dan memastikan tidak ada pihak yang diuntungkan secara tidak wajar. Kepala Dinas Pariwisata juga menambahkan bahwa keterlibatan pihak ketiga diperlukan untuk mempercepat pembangunan dan pengelolaan, karena pemerintah tidak mampu menanggung seluruh beban sendiri. Menurutnya, mekanisme bagi hasil dan klausul pengawasan sudah disiapkan untuk memastikan keuntungan daerah dan hak publik tetap terjaga.

Meski demikian, publik tetap menuntut transparansi lebih. Tanpa penjelasan terbuka mengenai dokumen appraisal, skema bagi hasil, alasan tidak melibatkan BUMD, serta jaminan bahwa kasus Dendang Ria tidak terulang, wajar jika muncul tuduhan bahwa ada kepentingan tersembunyi di balik niat baik pemerintah. Taman Gurindam 12 memang digadang-gadang menjadi ikon pariwisata, namun keindahan dan kemegahannya akan tercoreng bila pembangunan itu justru menjadi simbol buruk tata kelola aset daerah.”(timredaksiSF)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *