sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.– Rencana Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau melelang pengelolaan Taman Gurindam 12 ke pihak swasta memantik gelombang penolakan. Gerakan Bersama Rakyat (GEBER) Kepri mengirimkan surat resmi ke DPRD Kepri, mendesak digelarnya Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk membongkar potensi penyalahgunaan kewenangan dan ancaman privatisasi ruang publik.
Taman Gurindam 12 bukan sekadar taman. Dibangun sejak 2019 dengan dana APBD ratusan miliar rupiah, kawasan ini dirancang sebagai ikon kebudayaan sekaligus ruang terbuka hijau masyarakat. Kini, rencana menyerahkannya ke investor swasta dengan kontrak jangka panjang dianggap bentuk “pengkhianatan” terhadap amanat konstitusi yang menjamin akses publik atas fasilitas umum.
Jejak Modal yang Mengintai
Berdasarkan informasi yang dihimpun, sejumlah perusahaan event organizer, pengelola parkir, hingga jaringan investor pariwisata disebut-sebut berminat menguasai Taman Gurindam 12. Meski nama-nama resmi belum diumumkan, sumber internal Pemprov menyebut sudah ada “komunikasi intens” antara oknum pejabat dan calon investor tertentu.
Seorang akademisi kebijakan publik, menilai mekanisme lelang ini berpotensi menjadi pintu masuk rente. “Kalau kontrak jangka panjang, otomatis rakyat kehilangan kendali. Pemerintah hanya akan jadi penonton, sementara keuntungan mengalir ke kantong swasta. Praktik semacam ini sering kali menjadi ladang oligarki,” ujarnya.
Transparansi yang Gelap
Proses lelang hingga kini berlangsung tanpa partisipasi masyarakat. Tidak ada forum konsultasi publik, tidak ada analisis dampak sosial, bahkan dokumen resmi terkait syarat lelang pun belum dipublikasikan secara terbuka.
Pakar hukum administrasi negara mengingatkan, “Ruang publik tidak bisa diperlakukan sebagai komoditas pasar. Jika pemerintah menyerahkannya ke swasta tanpa keterbukaan, itu bukan hanya cacat prosedur, tapi juga potensi pelanggaran hukum. Masyarakat berhak menggugat.”
Ancaman terhadap Ruang Hijau dan Budaya
Bagi aktivis lingkungan, ancaman paling nyata adalah komersialisasi berlebihan. Investor akan mengedepankan profit: menambah bangunan, restoran, hingga konser berbayar. Dampaknya, fungsi ekologis taman akan terpinggirkan, polusi meningkat, dan wajah Tanjungpinang berubah menjadi arena bisnis, bukan ruang silaturahmi rakyat.
Budayawan Melayu pun angkat suara. “Taman Gurindam 12 adalah napas Melayu. Di sana orang berpuisi, berzikir, dan berpesta budaya. Kalau diswastakan, ia akan menjadi tempat iklan, banner sponsor, dan tiket masuk. Itu artinya kita kehilangan jiwa kota ini,” tegasnya.
Ujian DPRD Kepri
Kini bola panas ada di DPRD Kepri. Masyarakat menanti sikap tegas para wakil rakyat: apakah mereka benar-benar menjalankan fungsi representasi, atau justru larut dalam kepentingan modal.
“DPRD Kepri sedang diuji. Apakah mereka mau berdiri bersama rakyat, atau tunduk pada logika kapital? Kalau mereka diam, berarti mereka mengkhianati sumpah jabatan,” kata seorang peneliti tata kelola daerah di Jakarta.
GEBER Kepri menegaskan, RDP bukan sekadar forum formal, tetapi langkah mendesak untuk menghentikan proses lelang. Jika tidak, mereka berencana menggalang aksi lebih luas, termasuk mobilisasi massa hingga jalur hukum.
Pertarungan Logika Pasar vs Hak Rakyat
Polemik ini bukan sekadar soal taman. Ia adalah simbol pertarungan antara dua logika: pasar yang rakus dan rakyat yang berhak. Apabila Taman Gurindam 12 jatuh ke tangan swasta, maka preseden buruk akan tercipta: fasilitas publik lain bisa bernasib sama.
GEBER Kepri sudah menyalakan alarm bahaya. Kini tinggal menunggu: apakah DPRD Kepri akan menjadi benteng rakyat, atau malah menjadi pintu masuk kapitalisasi ruang publik di negeri Melayu ini.”(arf-6)