banner 728x250
Batam  

Surat Panggilan Misterius di PT Allbest Marine Picu Gejolak: PHK Kilat Diduga Langgar Prosedur, Pengamat Soroti Krisis Etika Industri Maritim Batam

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Batam — Sebuah surat panggilan kerja dari PT Allbest Marine menjadi pemantik kontroversi serius di kawasan industri maritim Batam. Surat bernomor 005/SP-AB/X/2025 bertanggal 16 Oktober 2025, yang ditandatangani oleh bagian HRD bernama Hanif, memanggil seorang pekerja kontrak bernama Paizal, berposisi sebagai blaster di divisi pengecatan dan pelapisan logam kapal. Dalam surat itu, alasan pemanggilan disebut karena adanya “dugaan pelanggaran mendesak.”

banner 325x300

Namun, bukannya proses klarifikasi atau pembelaan yang berlangsung, Paizal justru menerima surat pemutusan hubungan kerja (PHK) sehari kemudian, tanpa berita acara pemeriksaan, tanpa rapat mediasi, tanpa kesempatan membela diri. Dalam keterangannya kepada wartawan, Paizal menyebut langkah itu sebagai bentuk ketidakadilan yang terang benderang.

“Saya hanya dipanggil sekali, lalu langsung diberhentikan. Tidak ada pemeriksaan, tidak ada penjelasan apa kesalahan saya. Rasanya seperti sudah diputuskan sepihak sejak awal,” ujarnya dengan nada getir.

Dari hasil penelusuran lapangan dan dokumen internal yang diperoleh Sidik Fokus News, surat panggilan itu memang tidak mencantumkan pasal pelanggaran atau bukti pendukung apapun. Tak ada keterangan saksi, tidak ada notulensi pemeriksaan, bahkan tidak ada surat peringatan yang biasanya mendahului tindakan tegas seperti PHK.

Pakar hukum ketenagakerjaan dan konsultan hubungan industrial, menilai kasus ini sebagai pelanggaran terang terhadap prinsip due process of law dalam dunia kerja. Ia menyebut pemanggilan tunggal yang berujung PHK adalah bentuk cacat prosedural yang serius.

“Dalam sistem hubungan industrial modern, pemanggilan satu kali tanpa pemeriksaan dan berita acara merupakan pelanggaran administratif. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan PP Nomor 35 Tahun 2021 dengan tegas mengatur bahwa setiap PHK harus melalui proses bertahap — pemanggilan, klarifikasi, dan mediasi. Tanpa itu, PHK bisa batal demi hukum,” tegasnya.

Lebih jauh, menilai tindakan semacam ini bukan hanya persoalan administrasi, tetapi refleksi dari lemahnya budaya hukum perusahaan di sektor industri maritim Batam yang padat karya. Ia menilai, banyak perusahaan masih memandang pekerja kontrak sebagai bagian mudah diganti dari sistem produksi, bukan manusia dengan hak hukum yang setara.

“Budaya industrial kita masih timpang. Pekerja kontrak sering dijadikan tameng fleksibilitas produksi, padahal mereka juga manusia yang berhak atas kepastian kerja dan perlakuan adil,” ujarnya.

Senada dengan itu, Hendra Siregar, menyebut kasus Paizal hanyalah puncak gunung es dari praktik ketidakadilan ketenagakerjaan di Batam. Menurutnya, kasus ini mencerminkan lemahnya pengawasan pemerintah daerah dan ketidaktegasan Disnaker dalam memastikan prinsip perlindungan tenaga kerja berjalan nyata.

“Surat panggilan tanpa dasar yang jelas, diikuti PHK kilat tanpa mediasi, adalah bentuk pelanggaran hak asasi pekerja. Disnaker seharusnya hadir sejak awal, bukan setelah pekerja dirugikan. Jika ini dibiarkan, Batam akan menjadi contoh buruk bagi tata kelola hubungan industrial di Indonesia,” tegas Hendra.

Ia menambahkan, setiap surat panggilan yang menyangkut “dugaan pelanggaran” seharusnya memuat deskripsi perbuatan, bukti awal, dan ruang klarifikasi bagi pekerja. Tanpa itu, tindakan perusahaan dapat dikategorikan sebagai abuse of authority atau penyalahgunaan wewenang.

Hingga berita ini diturunkan, pihak manajemen PT Allbest Marine belum memberikan keterangan resmi. Seorang sumber internal perusahaan hanya menyebut bahwa pemanggilan dilakukan karena “dugaan pelanggaran kedisiplinan,” tanpa menjelaskan lebih jauh.

Kasus ini menjadi sinyal bahaya bagi dunia ketenagakerjaan di Batam — kota industri yang menjadi jantung sektor maritim nasional. Di tengah gempuran investasi asing dan target ekspor tinggi, praktik ketenagakerjaan yang tidak beretika dan abai terhadap hukum justru dapat menjadi ranjau sosial.

Jika kasus Paizal benar terbukti cacat prosedur, maka bukan hanya reputasi PT Allbest Marine yang terancam, tetapi juga kredibilitas sistem pengawasan tenaga kerja di Batam. Dalam konteks lebih luas, kasus ini menjadi pengingat keras: bahwa industrialisasi tanpa keadilan hanya akan melahirkan luka — bukan kemajuan.

( Redaksi )

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *