banner 728x250

Sudah Lapar Ya?” – Pernyataan Bupati Natuna Picu Ketegangan dengan Wartawan

banner 120x600
banner 468x60

 

Sidikfokusnews.com_ Natuna.Hubungan antara Bupati Natuna, Cen Sui Lan, dan insan pers kembali berada di titik panas. Kalimat singkat namun kontroversial yang diucapkan sang Bupati pada pertemuan dengan para wartawan—“Sudah lapar ya?”—memicu kemarahan dan kekecewaan mendalam di kalangan jurnalis lokal.

banner 325x300

Peristiwa itu terjadi pada Rabu, 5 Juni 2025, ketika puluhan wartawan yang tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Perkumpulan Jurnalis Natuna (PJN) mendatangi Kantor Bupati. Tujuan mereka sederhana dan sah: menanyakan kejelasan pembayaran dana publikasi untuk media lokal tahun anggaran 2024 yang hingga kini belum dibayarkan.

Namun, alih-alih mendapatkan jawaban yang diplomatis dan solutif, perwakilan wartawan justru dikejutkan dengan ucapan bernada sarkastik dari Bupati Cen Sui Lan. Menurut beberapa sumber yang hadir dalam pertemuan tertutup itu, ucapan “Sudah lapar ya?” disampaikan dengan nada yang dinilai merendahkan, menyiratkan anggapan bahwa kedatangan wartawan hanya karena kepentingan materi semata.

Ucapan itu sontak menimbulkan suasana tegang. Para wartawan merasa dilecehkan secara profesional. “Kita datang sebagai pihak yang meminta klarifikasi atas hak yang sudah dijanjikan dan diakui secara administratif, tapi justru disambut dengan kalimat yang seolah menertawakan keadaan kami,” ujar salah satu jurnalis senior yang turut hadir, namun meminta namanya tidak disebutkan.

Apalagi, tagihan pembayaran dana publikasi dari berbagai media lokal itu telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan dikategorikan sebagai kewajiban pemerintah daerah yang sah. Artinya, keterlambatan atau pengabaian terhadap pembayaran tersebut bukan hanya persoalan etika, melainkan juga soal tata kelola keuangan daerah.

Dikonfirmasi oleh awak media pada Kamis, 3 Juli 2025, usai Rapat Paripurna DPRD Natuna, Bupati Cen Sui Lan mencoba menjernihkan keadaan. Ia menyatakan bahwa kalimatnya hanyalah candaan.

> “Saya juga lapar, jadi kalau mereka bilang lapar saya mau ajak makan bareng,” ujar Cen sambil tertawa ringan.

Namun klarifikasi tersebut bukannya meredakan konflik, justru dianggap memperburuk citra. Beberapa pakar komunikasi menilai pernyataan itu sebagai bentuk ketidakpekaan sosial dan minimnya empati terhadap para pelaku media yang selama ini menjadi mitra strategis pemerintah dalam menyampaikan informasi pembangunan.

> “Pemimpin publik harus menyadari bahwa setiap kata yang mereka ucapkan bisa membentuk persepsi. Dalam konteks tekanan ekonomi dan tunggakan keuangan seperti ini, ucapan semacam itu bisa dianggap arogan, meskipun niatnya bercanda,” jelas Dr. Ramli Surya, dosen komunikasi publik di Universitas Andalas.

Luka Lama yang Terbuka Kembali

Hubungan antara pemerintah daerah Natuna dan insan pers sebenarnya bukan kali pertama diuji. Sejumlah jurnalis lokal pernah menyuarakan keluhan serupa di masa-masa sebelumnya, terkait minimnya transparansi anggaran publikasi, diskriminasi media, hingga dugaan politisasi kerja sama pemberitaan.

Namun, insiden 5 Juni ini menjadi semacam titik kulminasi. Para wartawan menilai bahwa penghinaan verbal dari seorang kepala daerah, sekecil apapun bentuknya, tidak bisa dibiarkan.

> “Kami bukan sekadar pekerja informasi. Kami adalah bagian dari kontrol sosial dan pilar keempat demokrasi. Ucapan seperti itu merusak kehormatan profesi kami,” tegas Ketua PWI Natuna dalam pernyataan resmi.

Beberapa tokoh masyarakat dan anggota legislatif menyarankan agar pemerintah daerah, khususnya Bupati Cen Sui Lan, membuka ruang dialog yang jujur dan setara dengan insan pers. Mengabaikan atau meremehkan persoalan ini justru berisiko memperlebar jurang ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.

“Pers bukan musuh. Mereka adalah mitra pembangunan,” ujar salah satu anggota DPRD Natuna. “Dan seorang pemimpin sepatutnya tidak hanya dilihat dari keberhasilannya membangun fisik, tapi juga dari kualitas komunikasi dan kematangan emosinya.”

Di tengah arus keterbukaan informasi dan harapan masyarakat terhadap akuntabilitas, komunikasi kepala daerah menjadi kunci dalam menjaga harmoni. Insiden ini seharusnya menjadi refleksi mendalam—bukan hanya bagi Bupati Natuna, tetapi juga bagi semua pejabat publik—bahwa satu kalimat bisa membangun kepercayaan, tapi bisa pula merobohkannya dalam sekejap.

Wartawan bukan pengemis anggaran. Mereka adalah penjaga suara publik yang pantas dihargai—bukan dijadikan bahan candaan dalam urusan yang menyangkut hajat hidup dan kehormatan profesi.” Redaksi SP

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *