sidikfokusnews.com. Tanjung Pinang– Kepulauan Riau. Dugaan permainan kuota rokok non-cukai di kawasan Free Trade Zone (FTZ) Bintan dan Tanjungpinang kembali menjadi sorotan publik. Isu ini bukan sekadar soal peredaran rokok tanpa pita cukai, tetapi menyangkut integritas pengelolaan kawasan khusus dan efektivitas pengawasan negara.
Dasar hukum memberikan kekhususan bagi kawasan FTZ, di mana rokok boleh beredar tanpa pita cukai, bea masuk, maupun pajak, asalkan peredarannya hanya di dalam wilayah FTZ dan jumlahnya sesuai kuota yang ditetapkan oleh Badan Pengusahaan (BP) kawasan bersama Bea Cukai.
Pertanyaan mendasar kini mengemuka: berapa sesungguhnya ketetapan jumlah kuota tahunan yang diterbitkan BP Kawasan dan Bea Cukai? Sejumlah pengamat menilai, di titik inilah kunci masalah berada. Tanpa transparansi kuota, sulit memastikan apakah peredaran di lapangan sesuai aturan atau sudah melampaui batas.
Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan, Heru Pambudi, dalam beberapa kesempatan menegaskan bahwa pengawasan distribusi rokok di kawasan FTZ bersifat renteng. Produsen, penjual, maupun pengangkut memiliki tanggung jawab bersama agar rokok yang mendapat fasilitas pembebasan hanya dikonsumsi di dalam kawasan.
“Rokok khusus Batam misalnya, kita beri pembebasan dengan syarat tetap stay di Batam. Jika ada kebocoran keluar kawasan, ada dua penalti: denda untuk produsen dan juga untuk pihak yang membawa keluar area,” jelas Heru.
Pandangan ini sejalan dengan aliansi gerakan bersama yang menegaskan, peredaran rokok non-cukai di luar kawasan FTZ otomatis menjadi ilegal. “Kalau sesuai kuota dan hanya beredar di dalam FTZ, itu legal. Tapi jika keluar kawasan atau melebihi kuota, jelas melanggar UU Cukai maupun UU Kepabeanan,” ujarnya.
Ketentuan hukumnya tidak main-main. Pasal 54 dan 56 UU Cukai melarang keras produksi dan peredaran rokok ilegal, sementara Pasal 55 huruf (c) UU No. 39 Tahun 2007 mengatur pidana penjara 1–5 tahun serta denda 2–10 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Sejumlah analis kebijakan publik menilai, turunnya status kelembagaan BP Tanjungpinang menjadi satuan kerja di bawah BP Bintan memperbesar risiko penyalahgunaan kewenangan dalam penetapan dan pengawasan kuota. “Ketika status lembaga makin lemah, justru pengawasan harus makin ketat. Jangan sampai kekhususan FTZ malah dijadikan tameng praktik ilegal,” ujar seorang pengamat.
Pada akhirnya, publik menunggu kejujuran dari para produsen dan distributor. Ke mana sesungguhnya rokok-rokok non-cukai ini didistribusikan? Benarkah hanya beredar di kawasan FTZ atau justru membanjiri wilayah lain yang bukan kawasan bebas pajak?
Masyarakat berharap aparat penegak hukum tidak hanya berhenti pada wacana, tetapi berani membongkar jaringan peredaran rokok ilegal yang selama ini disebut-sebut berlangsung terang-terangan. Jika dugaan permainan kuota ini terbukti, kasusnya bisa menjadi tamparan keras bagi tata kelola FTZ, sekaligus mengulang sejarah kelam kasus besar yang pernah menjerat Apri Sujadi.”(arf-6)