sidikfokusnews.com. Batam.-Polemik tata kelola lahan di Batam kembali menyeruak ke permukaan. Kali ini, sorotan tajam diarahkan pada kasus perobohan Hotel dan Resort Purajaya milik PT Dani Tasha Lestari (DTL), yang hingga kini belum menemukan titik terang. Pihak PT DTL menyatakan, perobohan bangunan yang dilakukan oleh PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP) pada 21 Juni 2023 telah mengakibatkan kerugian senilai Rp922 miliar. Lebih dari sekadar konflik lahan biasa, peristiwa ini menggambarkan kompleksitas, ketimpangan, dan lemahnya tata kelola pertanahan di salah satu kawasan ekonomi khusus yang selama ini digadang-gadang sebagai etalase investasi Indonesia.
Momen kehadiran Komisi VI DPR RI ke Batam, sebagai mitra Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam), menjadi harapan baru bagi para pengusaha yang merasa menjadi korban dari kebijakan semrawut pengelolaan lahan. Dalam flyer resmi, Komisi VI mengundang warga Batam untuk menyampaikan aspirasi dan keluhan terkait tata kelola lahan dan tata ruang, melalui Forum Pengaduan yang akan diselenggarakan Jumat, 18 Juli 2025 di Ballroom Marriott Batam, Harbour Bay Downtown.
Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, dalam keterangannya menegaskan bahwa pihaknya telah mengikuti proses Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VI DPR RI. Ia berharap forum ini menjadi titik balik dalam membongkar praktik mafia lahan yang telah menekan iklim investasi dan menciptakan ketakutan di kalangan pelaku usaha.
“Hotel kami dirobohkan, padahal status hukum atas HGB dan permohonan perpanjangan sudah sesuai prosedur. Tidak ada dasar hukum yang kuat atas tindakan eksekusi tersebut, sementara BP Batam sebagai pemegang Hak Pengelolaan Lahan (HPL) seharusnya tunduk pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” ujarnya.
Pengamat Hukum Pertanahan, Hendri Firdaus, SH, menjelaskan bahwa fenomena mafia lahan bukan hal baru di Batam. Justru, kata dia, Batam adalah salah satu episentrum praktik tersebut. Dalam kasus Purajaya, pemegang Hak Guna Bangunan (HGB) memiliki hak prioritas dalam memperpanjang HGB, meskipun masa berlaku sebelumnya telah habis. Hal ini dijamin dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021.
“Sesuai regulasi, ada toleransi dua tahun keterlambatan perpanjangan. Apalagi, pemilik bangunan seperti dalam kasus Hotel Purajaya, tetap memiliki hak prioritas atas perpanjangan, tidak dibatasi oleh waktu. Ini bukan semata persoalan administratif, tapi menyangkut kepastian hukum,” terang Hendri.
Menurutnya, tindakan perobohan yang dilakukan oleh pihak PEP dan tidak melalui proses pengadilan perdata atau eksekusi resmi justru menunjukkan ada masalah sistemik. Hendri menilai BP Batam sebagai pengelola kawasan wajib bertanggung jawab atas praktik alokasi lahan yang tidak transparan dan memicu konflik horizontal antarpengusaha.
“Dalam negara hukum, semua tindakan pengambilalihan, apalagi penggusuran, harus melalui mekanisme hukum. Kalau tidak, ya itulah yang disebut mafia lahan,” tegasnya.
Siapa Bertanggung Jawab?Sorotan tajam juga diarahkan pada sosok Bobie Jayanto, Komisaris Utama PT PEP, dan Direktur PT PEP, Jenni, yang diduga sebagai otak utama dalam perobohan hotel. Kuasa hukum PT DTL, Hermanto Manurung, menilai kedua tokoh itu harus segera diperiksa oleh aparat penegak hukum.
“Kami mendesak aparat kepolisian untuk tidak membiarkan perkara ini mengambang. Sudah ada kerugian sangat besar, Rp922 miliar. Namun hingga kini belum ada penetapan tersangka, padahal unsur pidana jelas,” ujar Hermanto.
Ia juga menyampaikan kekhawatiran atas dampak lanjutan dari kasus ini, terutama bagi pelaku usaha lokal, termasuk pengusaha Melayu yang selama ini berupaya menanamkan investasi di tanah kelahirannya sendiri.
“Kita bukan hanya bicara tentang kerugian finansial. Ini soal kepercayaan investor, terutama dari dalam negeri. Ketika seorang pengusaha lokal bisa diperlakukan seperti ini, apa jaminannya investor asing akan merasa aman?” tambahnya.
Rury Afriansyah dan para pengusaha korban mafia lahan kini menggantungkan harapan pada Panitia Kerja (Panja) Komisi VI DPR RI. Diharapkan, forum pengaduan tersebut tidak sekadar menjadi formalitas politik, tapi mampu menghasilkan rekomendasi kuat untuk menertibkan alokasi dan perizinan lahan di Batam.
Pakar kebijakan publik dan tata ruang, Dr. Andi Surya, juga menekankan perlunya reformasi tata kelola lahan di kawasan bebas seperti Batam. Ia menilai selama ini konflik lahan di Batam sering kali diselesaikan secara sepihak, tanpa melibatkan kajian menyeluruh dan partisipasi publik.
“Batam adalah kawasan strategis nasional. Tetapi kalau pengelolaannya seperti ini—tanpa transparansi, tanpa kepastian hukum—maka kawasan ini akan berubah jadi ladang konflik,” ujarnya.
Komisi VI DPR RI memiliki tugas berat untuk memperbaiki tata kelola tersebut. Tidak cukup hanya mendengar pengaduan, tapi juga mendorong audit menyeluruh atas pengalokasian lahan oleh BP Batam selama dua dekade terakhir.
Kisah Hotel Purajaya bukan hanya tragedi satu investor. Ia adalah refleksi dari kegagalan sistemik dalam tata kelola pertanahan di Indonesia, khususnya di wilayah istimewa seperti Batam. Ketika hukum bisa ditekuk, ketika pengusaha bisa digusur tanpa proses, maka negeri ini harus bertanya: siapa sebenarnya yang menguasai tanah?
Kini bola panas ada di tangan Komisi VI DPR RI, BP Batam, dan aparat penegak hukum. Publik menunggu lebih dari sekadar janji: mereka menanti hadirnya keadilan yang nyata, serta kepastian hukum bagi siapa pun yang ingin membangun dan berinvestasi di Tanah Air. ( ini boleh di naikan beb?) Ada tambahan…