sidikfokusnews.com-Anambas, Kepulauan Riau. — Aroma wangi beras yang dulu akrab menyapa dari dapur-dapur rumah di Anambas kini terasa asing. Keluhan soal rasa yang hambar, warna kusam, hingga tekstur kasar mulai menjadi percakapan serius dari ruang makan warga hingga forum-forum komunitas lokal. Bukan sekadar perbedaan selera atau hasil panen. Masyarakat menduga ada praktik sistematis yang menyebabkan kualitas beras premium di pasaran anjlok drastis.
Kecurigaan itu mengarah pada satu istilah yang menghantui dunia pangan: oplosan. Merek-merek yang dulu menjadi pilihan utama seperti HARUMM@S dan CM, kini justru menjadi sasaran keluhan. Banyak warga mengaku tertipu, termasuk pelaku usaha kuliner yang sangat bergantung pada konsistensi kualitas beras. Bahkan beberapa mantan pekerja distribusi mulai angkat bicara, menyebut adanya praktik pencampuran beras Bulog berkualitas dengan beras murah, lalu dikemas ulang menggunakan merek premium yang sudah dikenal masyarakat.
Praktik semacam ini diduga telah berlangsung lebih dari satu dekade, melibatkan “toke besar” yang disebut-sebut memiliki akses langsung ke jalur distribusi kapal tol laut dan fasilitas gudang pribadi untuk proses pencampuran. Jika benar, maka ini bukan sekadar kejahatan niaga, tapi pelanggaran struktural yang mencederai integritas pangan nasional.
Kecurigaan ini tidak berdiri sendiri. Hanya berselang sehari dari mencuatnya keluhan warga, Presiden Prabowo Subianto memimpin rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, bersama Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, Kapolri, dan Jaksa Agung. Salah satu fokus utama rapat tersebut adalah temuan pelanggaran standar mutu beras premium dan medium di pasaran, yang menurut Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, sudah dalam taraf mengkhawatirkan.
Mentan Amran menyatakan bahwa hal ini bukan hanya melanggar regulasi mutu pangan, tapi juga menyesatkan konsumen dan merugikan petani.
Broken-nya ada yang 30, 35, 40, bahkan 50 persen. Ini jelas tidak sesuai standar. Konsumen dirugikan, petani tidak diuntungkan. Ini penyimpangan serius,” tegas Mentan.
Arahan Presiden pun tegas dan tak terbantahkan: penegakan hukum harus dilakukan. Data hasil pemeriksaan diserahkan langsung kepada Kapolri dan Jaksa Agung, dan dalam waktu dekat, pemerintah akan melaksanakan rakortas lanjutan untuk menyusun langkah terpadu. Ini menjadi sinyal bahwa negara tidak akan tinggal diam menghadapi praktik curang yang mengancam keamanan pangan.
Menurut Dr. Hanafiah Surbakti, pakar teknologi pangan dari IPB, temuan ini merupakan cerminan buruk dari lemahnya sistem pengawasan mutu di sektor distribusi beras. Ia menekankan bahwa beras dengan kadar patahan di atas 30 persen secara teknis tidak layak dikategorikan sebagai premium. Label “premium” dalam konteks ini, kata dia, hanyalah kamuflase dagang yang memperdaya konsumen.
Senada dengan itu, Desi Anggraini, Direktur Eksekutif Indonesia Rice Watch (IRW), menilai skandal ini sebagai fenomena pelanggaran sistematis, bukan insiden sesaat. Jumlah pelaku dan merek yang terlibat mencerminkan adanya jaringan bisnis gelap yang tumbuh di tengah lemahnya penegakan standar. Desi juga mendorong agar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terlibat untuk menyelidiki kemungkinan adanya praktik kartel atau pemalsuan label secara terorganisasi.
Dampak dari skandal ini juga tidak bisa diabaikan dari sisi ekonomi dan kepercayaan publik. Dr. Aryo Hapsoro, pengamat kebijakan pangan dari INDEF, menyebut bahwa pelanggaran mutu pangan seperti ini dapat menciptakan gejolak pasar, menurunkan reputasi merek-merek lokal, dan memperlemah kepercayaan terhadap kebijakan pangan nasional. Lebih parah lagi jika praktik ini juga mencemari program bantuan sosial berbasis beras, yang bersumber dari dana APBN.
Ia mengusulkan agar pemerintah segera mengumumkan daftar hitam (blacklist) merek-merek beras yang terbukti melanggar, agar konsumen tidak terus menjadi korban dan pelaku usaha tidak lagi bermain-main dengan hukum.
Rapat terbatas yang digelar Presiden Prabowo ini dipandang sebagai ujian awal dari keseriusan pemerintah dalam memperkuat ketahanan pangan nasional. Isu mutu beras selama ini sering dipinggirkan, kalah oleh wacana stabilitas harga. Namun kali ini, pemerintah tampaknya mulai menyadari bahwa kedaulatan pangan tidak cukup dijaga dengan harga murah, tapi juga dengan mutu yang terjaga dan sistem distribusi yang adil.
Jika proses hukum berjalan tanpa pandang bulu dan pelaku diberi sanksi setimpal, maka skandal beras ini bisa menjadi titik balik bagi sistem pangan Indonesia. Bukan hanya soal beras, tapi soal bagaimana negara berdiri di sisi rakyat—mulai dari petani yang menanam hingga masyarakat yang menyantapnya.”(timredaksi-SF)