Batam,sidikfokusnews.com _ Satuan Tugas Antimafia Tanah Kepolisian Daerah Kepulauan Riau (Polda Kepri) menahan tujuh tersangka dalam kasus pemalsuan sertifikat tanah lintas‐kabupaten yang telah beroperasi sejak 2023. Pengungkapan perkara ini berawal dari dua laporan polisi yang diterima Polresta Tanjungpinang pada 22 Mei dan 12 Juni 2025 dan mencapai puncaknya ketika Kapolda Kepri Irjen Pol Asep Safrudin serta Dirreskrimum Kombes Pol Ade Mulyana merilis kronologi lengkap di Mapolda Kepri, Kamis (3/7).
Modus Terstruktur dan Terencana
Investigasi mengungkap bahwa ES (28) — yang mengaku sebagai “Kabid Satgas Mafia Tanah” Kementerian ATR/BPN — merekrut enam rekan untuk menjalankan berbagai peran. MR dan ZA menyamar sebagai petugas ukur resmi dengan mengenakan atribut BPN dan memanfaatkan aplikasi geospasial demi meyakinkan calon korban. Koordinat lahan kemudian dikirimkan ke RAZ di Jakarta untuk dibuatkan sertifikat palsu, baik analog di atas kertas bercap Garuda maupun versi elektronik dengan barcode palsu yang terhubung ke situs tiruan.
Sindikat ini juga meniru dokumen Badan Pengusahaan (BP) Batam, antara lain peta lokasi dan tagihan Uang Wajib Tahunan (UWT). Peredaran jasa ilegal tersebut dipasarkan oleh LL melalui media sosial, sedangkan KS — seorang wartawan sekaligus ketua LSM — diduga membantu membangun kepercayaan publik agar “proyek” tampak sah. AY bertindak sebagai penghubung logistik dan penyedia material cetak.
Polisi memetakan sedikitnya 247 pemohon—perorangan maupun badan hukum—yang tersebar di Kota Batam (6 korban), Kota Tanjungpinang (23 korban), dan Kabupaten Bintan (218 korban). Para tersangka sudah menerbitkan 44 sertifikat palsu (10 elektronik, 34 analog), dua peta lokasi, 12 faktur UWT, serta dua dokumen lain berkop BP Batam. Kerugian ditaksir melebihi Rp16,8 miliar, belum termasuk aset bergerak berupa mobil sewaan yang dibeli dari hasil kejahatan dan kini turut disita sebagai barang bukti.
Kasus ini mencuat ketika SA, seorang warga Tanjungpinang, mencoba mengkonversi sertifikat analognya menjadi sertifikat elektronik pada Februari 2025. Sistem Kantor Pertanahan tidak menemukan data tersebut, memunculkan kecurigaan adanya pemalsuan. Laporan SA segera memicu investigasi gabungan Polresta Tanjungpinang dan Polda Kepri yang akhirnya menelusuri aliran dokumen hingga ke Jakarta.
Penyidik menjerat para tersangka dengan Pasal 263 dan 264 KUHP (pemalsuan surat/akta otentik), Pasal 378 KUHP (penipuan), serta Pasal 55–56 KUHP (turut serta). Ancaman hukumannya maksimal delapan tahun penjara. Selain itu, Unit Tindak Pidana Pencucian Uang Polda Kepri tengah menelusuri aliran dana guna menambahkan jerat Undang-Undang No. 8/2010 tentang TPPU.
Kapolda Kepri menegaskan kembali pentingnya memanfaatkan jalur resmi—mulai dari pengecekan plotting tanah di Kantor Pertanahan hingga validasi keabsahan barcode sertifikat elektronik—demi menghindari penipuan serupa. “Masyarakat jangan tergiur proses cepat. Pastikan setiap langkah pendataan tanah langsung di BPN dan jangan menyerahkan dokumen pada pihak yang tidak berwenang,” tegas Irjen Pol Asep Safrudin.
Kementerian ATR/BPN melalui Kanwil Kepri menyatakan akan memperketat verifikasi lapangan, sementara BP Batam menyiapkan hotline pengaduan UWT palsu. DPRD Kepri pun berencana memanggil BPN, Polda, dan pemerintah daerah guna membahas celah regulasi dan sinergi pengawasan birokrasi pertanahan.
Polisi masih memburu pihak lain yang diduga terlibat, termasuk pencetak kertas sekuriti dan penyedia server situs palsu. Tim digital forensik Ditreskrimsus juga memeriksa rantai distribusi file desain sertifikat dan catatan transaksi daring para tersangka. Penyidik membuka kemungkinan pengenaan restorative justice terbatas untuk korban yang sudah terlanjur mengelola lahan namun beritikad baik menyerahkan kembali sertifikat palsu.”(redaksi sp)
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 228