sidikfokusnews.com.Tanjungpinang.- Suasana kehangatan dan rasa kekeluargaan begitu terasa dalam pertemuan antara Badan Pengurus Wilayah Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (BPW KKSS) Kepulauan Riau dengan Ibu Dwiana Nenny, yang akrab disapa “Nyanyang,” istri dari Wakil Gubernur Kepulauan Riau, Bapak Nyanyang Haris Pratamura.
Lebih dari sekadar silaturrahmi biasa, momen ini menjadi simbol menyulam kembali benang-benang kebersamaan di antara anak bangsa, yang bersatu dalam naungan nilai-nilai kultural Bugis dan Melayu. Di Kepri, dua identitas budaya ini telah lama menjadi fondasi harmonis kehidupan sosial, spiritual, bahkan politik.
Kehadiran Ibu Nyanyang membawa suasana penuh kesejukan. Perawakannya yang bersahaja disambut hangat oleh para pengurus KKSS KEPRI. Dalam dialog santai namun bermakna, terungkap kisah personal yang menjadi semacam jembatan batin antara beliau dengan masyarakat Bugis. Ayah Ibu Nyanyang diketahui merupakan keturunan Bugis asal Bone yang lahir di Kepulauan Anambas, salah satu titik historis penting dalam peta diaspora Bugis di utara Indonesia.
Fakta ini sontak menjadi perbincangan hangat. Banyak yang baru mengetahui sisi genealogis tersebut, termasuk Ketua KKSS KEPRI, Ady Indra Pawennari. Ia mengungkapkan rasa kagum sekaligus keharuan atas kedekatan Ibu Nyanyang dengan masyarakat Bugis. “Ternyata ayah beliau Bugis Bone, lahir di Anambas. Ini bukan sekadar kebetulan. Ada kedekatan batin yang nyata dengan masyarakat Bugis-Melayu di sini,” ujar Ady.
Kedekatan tersebut juga tampak dalam sikap dan pandangan hidup suaminya, Wakil Gubernur Kepri, Nyanyang Haris Pratamura. Meski lahir di Garut, beliau tumbuh besar di Malino, Gowa—sebuah kawasan pegunungan yang sarat dengan nilai-nilai tradisi Bugis-Makassar. Malino tidak hanya dikenal sebagai tempat peristirahatan, tapi juga sebagai pusat tumbuhnya karakter Bugis yang tangguh dan berpegang pada prinsip siri’ (harga diri) dan pesse (empati sosial).
“Makanya Pak Wagub sangat respek kepada orang Bugis. Itu terlihat dari bagaimana beliau bergaul, bagaimana beliau merespons aspirasi masyarakat Sulawesi Selatan di Kepri. Beliau punya pemahaman mendalam tentang nilai-nilai kultural itu,” lanjut Ady.
Pertemuan tersebut mempertegas posisi KKSS sebagai rumah besar kebersamaan. Bukan hanya tempat berkumpulnya warga Sulawesi Selatan di perantauan, tetapi juga menjadi simpul pemersatu beragam etnis yang hidup berdampingan di Kepulauan Riau. Dalam semboyan “KKSS Rumah Besar Kita”, terkandung semangat persaudaraan lintas batas geografis, lintas generasi, dan lintas identitas.
Tak ada sekat yang membatasi. Suasana penuh canda tawa dan percakapan akrab mengalir begitu cair. Momen ini memperlihatkan bahwa kekuatan silaturrahmi dan diplomasi budaya masih menjadi jalan yang ampuh untuk memperkuat persatuan, terlebih di tengah keragaman suku dan agama yang menjadi karakter dasar masyarakat Kepri.
Dalam konteks Kepri sebagai provinsi kepulauan yang menjadi titik temu pelbagai suku, agama, dan budaya, peran komunitas adat seperti KKSS sangat penting. Bukan hanya sebagai pelestari tradisi leluhur, tetapi juga sebagai mitra strategis dalam menyampaikan aspirasi warga kepada pemerintah dan menjaga harmoni dalam kehidupan sosial.
Kolaborasi seperti ini—antara komunitas budaya dan tokoh publik seperti Ibu Nyanyang—adalah bentuk nyata penguatan nilai-nilai lokal dalam pembangunan daerah. Dengan menjunjung nilai kearifan lokal, Kepri tidak hanya kuat dari sisi ekonomi dan geopolitik, tapi juga memiliki pondasi sosial yang kokoh.
Silaturrahmi ini juga menjadi pengingat bahwa di tengah hiruk-pikuk pembangunan, masih ada ruang untuk duduk bersama, saling bertukar kisah tentang leluhur, dan menatap masa depan dengan semangat persaudaraan. Karena bangsa yang kuat adalah bangsa yang tak pernah melupakan akar budayanya.”(Arf)