Breaking News
Penundaan Investasi di Sembulang: Antara Kepastian Pembangunan dan Keadilan Sosial Kisruh MT Arman 114: Gugatan Berlapis, Mafia Kasus, dan Ancaman terhadap Wibawa Peradilan Maritim Indonesia Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto Kristiyanto: Ujian Integritas Hukum dan Simbol Rekonsiliasi Nasional Ketika Kejujuran Menjadi Jalan Cahaya: Refleksi 7 Safar 1447 H Ketika Kejujuran Menjadi Jalan Cahaya: Refleksi 7 Safar 1447 H sidikfokusnews.com-Tanjungpinang, Jumat Mubarok.— Di bawah langit 7 Safar 1447 Hijriyah atau bertepatan dengan 1 Agustus 2025 Masehi, kita kembali diingatkan bahwa cahaya tak pernah tertahan selamanya oleh awan gelap. Sebagaimana sinar mentari pada akhirnya menembus kabut dan menerangi alam, demikian pula kebenaran—meski terkadang tersembunyi oleh kepentingan, kebohongan, dan manipulasi—akan menemukan jalannya untuk bersinar dan diakui. Kebenaran tidak perlu guncangan besar atau panggung megah. Ia tidak menuntut pengakuan duniawi. Ia hanya perlu istiqamah, keteguhan hati, dan keikhlasan untuk terus ditegakkan. Karena pada waktunya, segala tirai dusta akan tersingkap, dan kejujuran akan menjadi cahaya yang membakar kebatilan. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an: > “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 119) Ayat ini bukan hanya seruan moral, tetapi perintah Allah agar kita senantiasa berada di barisan para pencinta kebenaran dan pelaku kejujuran. Ia adalah nilai pokok dalam membangun umat yang kuat, adil, dan penuh keberkahan. Rasulullah ﷺ bersabda: > “Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga. Dan seseorang yang terus-menerus berlaku jujur akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur.” (HR. Bukhari dan Muslim) Rasulullah ﷺ sendiri dikenal sebagai al-Amīn (yang terpercaya), bahkan sebelum kenabian. Kejujuran adalah warisan pertama beliau kepada umatnya. Ia adalah bukti utama risalah, bahkan sebelum wahyu diturunkan. Para ulama terdahulu dan kontemporer tak henti mengingatkan bahwa kejujuran adalah pokok dari seluruh akhlak yang mulia, dan dusta adalah awal dari kehancuran pribadi maupun bangsa. 1. Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah رحمه الله berkata: > “Kejujuran adalah poros segala kebaikan. Jika kejujuran lenyap, maka tidak akan tersisa kebaikan yang nyata. Dan jika kejujuran tegak, maka semua amal pun akan ikut tegak bersamanya.” (Madarijus Salikin, Jilid 2) 2. Imam Al-Ghazali رحمه الله menulis: > “Lidah yang jujur adalah cermin hati yang bersih. Jika seseorang terbiasa berkata jujur, maka hatinya akan dipenuhi cahaya. Tapi jika ia terbiasa berdusta, maka hatinya akan gelap dan rusak.” (Ihya’ Ulumuddin) 3. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani رحمه الله mengingatkan: > “Kejujuran adalah jalan menuju Allah. Siapa yang jujur, ia akan sampai. Dan siapa yang berdusta, ia akan tersesat dan tertolak.” 4. Syaikh Shalih al-Fauzan حفظه الله (ulama kontemporer): > “Orang yang jujur akan dipercayai masyarakatnya, dan orang yang berdusta meskipun sekali, akan kehilangan kepercayaan selamanya.” (Diringkas dari ceramah beliau dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah) Kejujuran Sebagai Pilar Peradaban, dalam tatanan sosial, kejujuran adalah modal dasar kepercayaan. Ia adalah tiang rumah dari hubungan antarmanusia—baik antara rakyat dan pemimpin, pedagang dan pelanggan, guru dan murid, suami dan istri. Bila tiang itu roboh, semua akan menyusul jatuh. Namun sayangnya, di zaman ini kejujuran kerap dianggap kelemahan, dan kebohongan menjadi alat untuk meraih posisi atau keuntungan. Inilah zaman ketika orang yang jujur dianggap naif, dan yang culas dijadikan panutan. Oleh karena itu, siapa yang tetap menjaga kejujuran di tengah budaya kebohongan, maka ia adalah pelita zaman, penunjuk jalan, dan pembela kebenaran yang hakiki. Mari kita jadikan hari Jumat ini sebagai momentum memperbarui tekad: untuk berkata benar, berlaku benar, dan berpihak kepada yang benar—meskipun kita sendirian. > اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الصَّادِقِينَ، وَارْزُقْنَا قُلُوبًا نَقِيَّةً، وَأَلْسِنَةً صَادِقَةً، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا، وَنُورًا نَمْشِي بِهِ فِي الظُّلُمَاتِ “Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang jujur, anugerahkan kepada kami hati yang bersih, lisan yang benar, amal yang diterima, dan cahaya yang membimbing kami di tengah kegelapan.” (serpihancahayahati)
banner 728x250
Daerah  

Seruan Siap Jaga Indonesia di Tengah Eksistensi Ideologi Kekerasan

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com. Jakarta.- Kekerasan ideologis belum mati. Ia hanya ganti kostum. Dulu hadir dalam bentuk ledakan di hotel dan kafe. Kini ia menjelma jadi siaran live, unggahan dakwah kelabu, dan transaksi gelap via dompet digital. Radikalisme kini tinggal selangkah dari jempol, menyelinap dari satu tautan ke tautan lain. Sementara itu, jaringan teror internasional sudah main lintas negara, memanfaatkan dunia yang makin terhubung tapi tak selalu kuat dalam pertahanan sosialnya.

banner 325x300

Tapi Indonesia tidak tinggal diam. Di usia ke-15 tahun, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berdiri bukan hanya sebagai pagar negara, tapi juga ruang dialog dan pembinaan. Kepala BNPT, Komjen Eddy Hartono, menegaskan bahwa keberhasilan ini adalah hasil kerja bersama.

“Perjalanan 15 tahun BNPT adalah wujud nyata dari sinergi dan kolaborasi pemerintah dan partisipasi aktif masyarakat,” kata Eddy.

Ia menekankan bahwa pendekatan BNPT tak melulu soal strategi keras, tapi juga pendekatan yang menyentuh sisi manusia.

“Kami percaya bahwa pencegahan tidak hanya dilakukan dengan strategi, tetapi dengan hati yang ikhlas, melalui langkah yang edukatif dan pembinaan secara komprehensif.”

Dalam berbagai programnya, BNPT hadir di tengah masyarakat: mendampingi eks napiter kembali ke masyarakat, membina penyintas untuk bangkit dari trauma, hingga membangun jejaring damai dengan tokoh agama dan komunitas lokal.

“BNPT akan terus hadir di tengah masyarakat, menjadi mitra yang solutif dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan,” katanya.

Dan memang, hasilnya terlihat. Sejak 2023, Indonesia tidak mencatat satu pun serangan teror. Zero attack. Tapi ini bukan soal angka semata. Di balik statistik, ada orang-orang yang bangkit. Eks napiter yang membuka usaha halal, para penyintas yang kembali berkarya, hingga komunitas-komunitas yang memilih jalur damai meski pernah disakiti kekerasan. Indonesia sedang membuktikan bahwa yang patah bisa tumbuh lagi, yang luka bisa sembuh, asal dirawat bersama.

Psikolog forensik, Dra. Reni Kusumowardhani, M.Psi., yang banyak terlibat dalam rehabilitasi dan reintegrasi eks pelaku teror, menilai capaian ini bukan kerja satu lembaga semata.

“Kita semua punya prestasi zero attack dan ini tentunya bukan hanya prestasi BNPT tetapi prestasi kita semua, seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia,” ujarnya.

Tak bisa dimungkiri, salah satu kunci keberhasilan pencegahan teror adalah kolaborasi lintas sektor. Pemerintah mendorong hal ini melalui Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE).

Bukan hanya aparat dan birokrat, tetapi guru, ulama, komunitas seni, hingga pemuda lokal dilibatkan dalam upaya deteksi dini dan penguatan kapasitas masyarakat. RAN PE membuka ruang bagi pendekatan yang lebih manusiawi: pendekatan yang mengajak, bukan menuding.

Tetapi tantangan belum selesai. Dunia digital dan globalisasi membuat jaringan teror lintas negara tumbuh lebih cepat dan senyap. Direktur Eksekutif CSIS, Yose Rizal Damuri, mengingatkan bahwa bahaya teror tak hanya merenggut nyawa, tapi juga merusak struktur sosial.

“Terorisme bisa menjadi devastating dan itu sudah merugikan tidak hanya secara fisik, kerugian ekonomi namun juga kehilangan nyawa. Tapi yang lebih penting deceive kepercayaan sosial dan attitude yang juga sangat boleh jadi membuat kita menghadapi situasi dan dampak yang sangat sulit,” katanya.

Yose menambahkan, di tengah dunia yang saling terhubung, terorisme jadi tantangan multidimensi. Maka pendekatannya pun harus lintas batas, lintas sektor, dan lintas kesadaran.

Hari ini, BNPT menyerukan gerakan Siap Jaga Indonesia. Sebuah ajakan agar menjaga negeri ini bukan lagi tugas segelintir aparat, tapi kesadaran bersama. Dari ruang kelas, tempat ibadah, ruang media sosial, hingga meja makan keluarga—semua bisa jadi titik awal pencegahan kekerasan.

Indonesia Emas 2045 tak akan tercapai dengan membiarkan benih kebencian tumbuh. Ia hanya mungkin terwujud bila bangsa ini mau jaga pikirannya, jaga narasinya, dan jaga sesamanya.”(Humas BNPTRI/Anjar)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *