banner 728x250

Sengketa Hak Asuh Berujung Laporan Pidana: Kasus Dugaan Kekerasan Anak di Tanjungpinang yang Masih Menyisakan Tanda Tanya

banner 120x600
banner 468x60

sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.– Kasus dugaan kekerasan terhadap anak yang menyeret pasangan suami istri, AR dan FS, warga Kota Tanjungpinang, terus menjadi sorotan publik. Di tengah proses hukum yang masih berjalan, muncul berbagai versi cerita yang memperlihatkan betapa rumitnya batas antara disiplin, kesalahpahaman, dan tuduhan kekerasan dalam keluarga modern.

FS, ibu kandung sang anak, akhirnya memecah kebisuan. Ia membantah keras tuduhan bahwa dirinya dan sang suami telah melakukan kekerasan terhadap anaknya yang kini duduk di kelas lima sekolah dasar. Ia menilai pemberitaan sejumlah media telah mendistorsi fakta dan memperkeruh situasi yang seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan.

banner 325x300

“Tidak ada penganiayaan seperti yang dituduhkan. Semua itu fitnah. Pengadilan Agama Tanjungpinang sudah memutuskan bahwa hak asuh anak tetap di tangan saya karena tidak terbukti ada kekerasan,” tegas FS, Senin (3/11/2025).

FS menuturkan bahwa perkara ini bermula dari gugatan hak asuh anak yang diajukan oleh mantan suaminya. Namun di tengah proses tersebut, muncul laporan baru ke kepolisian yang menuding adanya kekerasan fisik yang dilakukan oleh ayah sambung, AR.

Berdasarkan putusan Pengadilan Agama Tanjungpinang Nomor 690/Pdt.G/2025/PA.TPI, majelis hakim menolak tuduhan kekerasan setelah memeriksa saksi, bukti visum, serta keterangan pihak sekolah dan lingkungan sekitar. Dalam amar putusannya, hakim bahkan menyarankan agar persoalan diselesaikan secara kekeluargaan demi kepentingan terbaik bagi anak.

Namun tak lama setelah putusan itu dibacakan, pihak mantan suami FS kembali melaporkan dugaan kekerasan ke kepolisian, membawa hasil visum dan pengakuan anak sebagai dasar laporan baru. Sejak itu, kasus yang seharusnya selesai di ranah perdata berubah menjadi sengketa pidana yang memicu perdebatan luas.

AR, sang ayah sambung yang kini menjadi terlapor, membantah keras tuduhan tersebut. Ia menegaskan bahwa pada tanggal 10 Agustus 2025—hari yang disebut sebagai waktu kejadian—ia tidak berada di rumah sejak pagi hingga larut malam.

“Saya bisa buktikan, saya sedang menghadiri acara selamatan dan doa bersama dari pagi sampai tengah malam. Banyak saksi yang melihat. Jadi bagaimana mungkin saya melakukan yang dituduhkan?” ujarnya.

Menurut AR, dugaan kekerasan itu kemungkinan muncul akibat kesalahpahaman. Ia menjelaskan bahwa sang anak sempat terjatuh dari meja saat menjaga adiknya. “Ibunya sendiri melihat kejadiannya. Anak jatuh, bukan dipukul. Tapi entah kenapa ceritanya berubah menjadi tuduhan penganiayaan,” tambahnya.

AR juga menyinggung soal inkonsistensi dalam pengakuan anak. Ia mengaku memiliki bukti dan laporan sekolah yang menunjukkan bahwa anak tersebut pernah membuat cerita yang tidak sesuai fakta.

“Kami tidak ingin mempermalukan anak, tapi ini fakta. Anak ini pernah berbohong di sekolah. Jadi tidak semua yang ia katakan bisa langsung dipercaya tanpa pembuktian,” kata AR.

Meski demikian, AR menegaskan bahwa dirinya tidak bermaksud menyerang karakter anak sambungnya. “Saya kasihan padanya. Dia anak baik, hanya perlu bimbingan dan pendampingan psikologis. Kami tetap ingin dia tumbuh dengan baik,” ujarnya.

Menurut Dr. Dwi Nurhidayah, pakar hukum keluarga dari Universitas Trisakti, kasus seperti ini menuntut kehati-hatian tinggi karena menyangkut dua hak dasar yang sama penting: perlindungan anak dan keadilan bagi orang yang dituduh.

“Keterangan anak di bawah umur harus dihormati, tapi tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan bukti lain. Anak bisa salah mengingat, bisa juga dipengaruhi oleh narasi orang dewasa,” jelasnya.

Ia menegaskan pentingnya pemeriksaan psikologis independen terhadap anak untuk memastikan bahwa pernyataannya bersumber dari pengalaman pribadi, bukan hasil sugesti atau tekanan pihak lain.

Sementara itu, Fitria Mardiana, M.Psi, psikolog anak dan remaja, menilai bahwa konflik kekerasan dalam keluarga sering kali berakar dari dinamika emosional yang kompleks.

“Kehadiran orang tua tiri kerap memunculkan rasa kehilangan perhatian. Bila komunikasi gagal dibangun, anak bisa mengekspresikan rasa cemburu atau marah melalui cerita yang dilebih-lebihkan,” katanya.

Namun ia menegaskan, “Setiap laporan kekerasan harus ditelusuri dengan profesional. Tidak semua anak berbohong, tapi tidak semua anak juga benar. Kuncinya adalah penilaian objektif dan mediasi keluarga.”

AR mengaku kecewa terhadap pihak-pihak yang ikut mengomentari kasus ini tanpa memahami konteks sebenarnya.

“Kami tidak menolak siapa pun mencari keadilan, tapi jangan memprovokasi publik. Ini urusan keluarga, bukan pertarungan gengsi sosial,” ujarnya.

Praktisi hukum perlindungan anak, Suharyono, SH., MH, menilai bahwa kasus semacam ini seharusnya ditangani dengan prinsip kerahasiaan yang ketat.

“Publikasi berlebihan terhadap kasus anak justru bisa menimbulkan trauma baru bagi anak dan mengganggu proses hukum,” tegasnya.

Kini, meski Pengadilan Agama telah menetapkan FS sebagai pemegang hak asuh yang sah, proses penyelidikan di kepolisian tetap berlanjut. FS dan AR mengaku siap menghadapi seluruh tahapan hukum dengan terbuka.

“Kami percaya pada hukum. Kami hanya ingin kebenaran muncul, bukan fitnah. Anak ini juga korban dari situasi yang tidak sehat,” tutup AR.

Kasus ini bukan sekadar pertikaian rumah tangga, melainkan potret rapuhnya komunikasi dan kepercayaan dalam keluarga yang terbelah. Hukum boleh memutus perkara, namun yang mampu menyembuhkan luka hanyalah kasih, kejujuran, dan keberanian untuk saling memaafkan.

Selagi aparat penegak hukum menelusuri fakta, publik diimbau untuk menahan diri dari penghakiman. Sebab di balik setiap laporan kekerasan, ada seorang anak yang hanya ingin merasa aman — dan ada orang dewasa yang berjuang memulihkan nama baik serta kedamaian keluarganya.

arf-6

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *