Tarempa, Kepulauan Anambas, sidikfokusnews.com_ Anggota DPRD Kepulauan Anambas, Wahyudi, memprotes maraknya pemberitaan daring yang menyeret urusan pribadinya—terutama perkara hutang-piutang dengan rekan bisnisnya, Rohadi—ke ruang publik. Ia menilai sejumlah artikel “tidak berimbang, tendensius, dan melecehkan privasi keluarga” karena memosisikan persoalan utang sebagai skandal publik yang berkaitan dengan jabatannya sebagai legislator.
> “Ini murni soal perdata antara dua pihak. Kesepakatan pembelian alat berat sudah dijalankan sesuai jadwal cicilan. Tidak ada hubungannya dengan tugas saya di dewan,” tegas Wahyudi dalam keterangan tertulis, Sabtu malam.
Politikus tersebut juga mengkritik salah satu jurnalis yang, menurutnya, “bertindak bak kuasa hukum lawan,” sehingga rawan melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan menimbulkan konflik kepentingan.
Tanggapan balik Rohadi
Rohadi—mitra bisnis yang mengklaim piutangnya belum lunas—membantah tudingan Wahyudi. Ia menegaskan dirinya bukan pengacara, melainkan pemilik sah piutang yang berhak menagih. “Saya hanya memegang surat kuasa khusus untuk penagihan. Persoalan administrasi seharusnya tidak membingungkan seorang anggota DPRD,” ujarnya.
Rohadi menuduh media yang memuat bantahan Wahyudi gagal menjalankan kewajiban konfirmasi. “Hak jawab seharusnya diberikan kepada saya sebelum rilis diterbitkan. Kalau diabaikan, itu pelanggaran SOP jurnalistik demi kejar trafik,” katanya.
Potensi pelanggaran etik media
Pengajar Etika Pers Universitas Batam, Dr. Bagas Marpaung, menilai polemik ini menyentuh dua pasal kunci dalam Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Media Siber Dewan Pers: verifikasi informasi berimbang (cover both sides) serta larangan jurnalis merangkap peran yang menimbulkan konflik kepentingan.
“Begitu wartawan menjadi advocate bagi salah satu pihak, independensi pemberitaan hilang. Redaksi wajib menarik atau merevisi artikel, dan memberi ruang hak jawab proporsional,” jelasnya.
Jalur hukum Wahyudi
Menurut pakar hukum media dari Lembaga Bantuan Hukum Pers, Nur Arianto, Wahyudi memiliki beberapa opsi:
Hak Jawab dan Hak Koreksi — Diatur Pasal 5 UU Pers 40/1999; media wajib menyiarkan klarifikasi paling lambat 2 × 24 jam setelah diterima, secara proporsional dan di kanal yang sama. Jika diabaikan, Wahyudi bisa memperkarakan pelanggaran administratif ke Dewan Pers.
Pengaduan ke Dewan Pers — Melalui mekanisme pengawasan etik; keputusan Dewan Pers sering kali menjadi rujukan damai.
Gugatan Perdata Pencemaran Nama Baik — Pasal 1365 KUHPerdata membuka ruang ganti rugi materiil/immateriil, tetapi penggugat harus membuktikan kerugian nyata.
Laporan Dugaan Pencemaran Elektronik — Pasal 27 ayat 3 jo. Pasal 45 UU ITE. Tren terbaru Mahkamah Agung mensyaratkan delik aduan dan bukti kerugian konkret agar tidak disalahgunakan.
“Biasanya Dewan Pers jadi pintu pertama. Jika terbukti melanggar KEJ, media diwajibkan meralat. Gugatan perdata baru ditempuh bila klarifikasi gagal,” tutur Nur.
Fokus sementara ke penyelesaian bisnis
Dihubungi terpisah, Wahyudi menyebut langkah pertama yang akan ia ambil ialah menyelesaikan cicilan alat berat sesuai perjanjian dan meminta kesepakatan tertulis final kepada Rohadi. “Saya menghargai hubungan bisnis lama. Soal pemberitaan, biarlah Dewan Pers menilai,” ujarnya.
Rohadi menyambut baik itikad tersebut, tetapi bersikeras menuntut jadwal pembayaran lebih pasti. “Kalau pembayaran tuntas, sengketa berhenti. Media pun tak punya cerita,” tandasnya.
Refleksi lebih luas
Kasus ini menyorot tipisnya batas antara perkara pribadi pejabat publik dan kepentingan publik yang sah untuk diketahui. Analis politik Lokal Politik Institute, Rara Meuthia, mengingatkan:
> “Seorang legislator memang figur publik, tetapi tidak setiap pertikaian finansial otomatis menjadi konsumsi publik. Ukurannya: apakah berdampak pada integritas jabatan dan penggunaan uang rakyat.”
Bagi dunia pers, episode ini menjadi pengingat bahwa kecepatan publikasi tidak boleh mengorbankan verifikasi dan keseimbangan. Bagi pejabat publik, transparansi dan penyelesaian tertib bisa mencegah sengketa berkembang liar di ruang digital—sebelum berujung di meja hijau. (Redaksi sp)
Berita Terkait
“Anambas–Natuna Diperas Pusat: Migas Melimpah, Rakyat Tetap Miskin – Saatnya Daerah Lawan Ketidakadilan Fiskal!” sidikfokusnews.com-Anambas.– Ironi pembangunan kembali menyeruak di dua daerah perbatasan kaya migas, Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau. Di tengah derasnya aliran minyak dan gas bumi dari perut bumi ke kas negara, kedua daerah ini justru tetap menjadi penonton, jauh dari kemakmuran yang dijanjikan. “Anambas adalah penghasil migas terbesar di Kepulauan Riau, tapi lihat kondisi rakyatnya. Infrastruktur tertinggal, kemiskinan masih tinggi, sementara pejabat pusat dan oligarki hidup kaya raya dari hasil bumi daerah,” tegas Muhamad Basyir, tokoh masyarakat yang vokal memperjuangkan keadilan fiskal bagi daerah penghasil migas. DBH Migas Naik, Tapi Masih Jauh dari Keadilan Data resmi menunjukkan, pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) Migas untuk Kabupaten Kepulauan Anambas meningkat signifikan: Rp 30,7 miliar (2021), Rp 75,2 miliar (2022), hingga Rp 100,5 miliar (2023). Kabupaten Natuna mendapat porsi lebih besar karena menjadi wilayah penghasil utama. Namun, angka-angka itu belum mampu menghapus ketimpangan struktural antara pusat dan daerah. “Kita hanya diberi 15 persen. Itu pun hitungannya gelap, data lifting migas tidak transparan. Bagaimana mau bicara keadilan kalau dasar perhitungannya saja tidak jelas?” kata Rinaldy, Kepala Badan Keuangan Daerah Kepulauan Anambas. Menurutnya, pemerintah pusat harus membuka seluruh data lifting minyak dan gas sebagai dasar perhitungan DBH. Tanpa transparansi, daerah penghasil hanya akan terus menerima remah dari meja makan pusat. Aspek Hukum: UU Migas Dinilai Masih Sentralistik Undang-Undang Migas No. 22 Tahun 2001 memang menegaskan bahwa migas adalah kekayaan nasional yang dikuasai negara. Namun, regulasi ini dinilai masih menyisakan celah ketidakadilan bagi daerah. Prof. Dr. Nurhayati Lubis, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, menjelaskan: “UU Migas tidak secara spesifik mengatur pengelolaan sumur migas di atas 12 mil. Semua masih bersifat sentralistik. Padahal, Pasal 18B UUD 1945 memberi ruang bagi daerah dengan karakteristik khusus untuk mengelola sumber daya alamnya secara lebih adil.” Ia menambahkan, peraturan turunan harus segera direvisi agar daerah penghasil migas memperoleh porsi yang layak, bukan hanya sekadar ‘diberi’ pusat secara sepihak. Belajar dari Aceh dan Papua: Daerah Harus Bersatu Kesenjangan fiskal seperti ini bukan hal baru. Aceh dan Papua dulu mengalami hal serupa, hingga akhirnya status Otonomi Khusus diberikan setelah perjuangan panjang para tokoh daerah, kepala daerah, DPRD, dan masyarakat sipil yang bersatu menekan pemerintah pusat. “Anambas harus belajar dari sana. Jangan hanya ribut di grup WhatsApp. Bawa data, bawa tokoh masyarakat, DPRD, kepala daerah, dan langsung audensi dengan pemerintah pusat dan SKK Migas di Jakarta,” ujar Hamdan, tokoh Muda Anambas. Ia menegaskan, perjuangan ini tidak bisa hanya berhenti di wacana. Harus ada roadmap politik yang jelas, dengan dukungan rakyat, agar pemerintah pusat tidak bisa lagi menutup mata. Ekonomi Politik Migas: Siapa yang Diuntungkan? Ekonom energi Dr. Farid Anwar menyebut fenomena ini sebagai local resource curse. “Daerah kaya sumber daya, tapi miskin kuasa. Nilai tambah ekonomi dan fiskal disedot pusat, oligarki tambang, dan korporasi besar. Sementara daerah penghasil hanya menanggung dampak sosial dan ekologisnya,” ujarnya. Ia mengingatkan, tanpa reformasi kebijakan fiskal, daerah penghasil akan tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktural. “Kesejahteraan rakyat tidak boleh hanya menjadi retorika. DBH Migas harus benar-benar berpihak ke daerah penghasil.” Seruan perubahan kini menggema di Anambas dan Natuna Para tokoh menilai, momentum pengesahan RUU Penyitaan Aset dan revisi kebijakan fiskal harus dimanfaatkan untuk menuntut revisi alokasi DBH Migas dan transparansi penuh data lifting migas. “Kita tidak bicara makar. Ini soal keadilan. Hasil bumi daerah jangan terus diperas pusat tanpa imbal balik yang adil. Kalau Aceh dan Papua bisa, Anambas–Natuna juga harus bisa!” tegas Muhamad Basyir. Gerakan ini diharapkan tidak hanya menggugah pemerintah pusat, tetapi juga membangkitkan kesadaran kolektif masyarakat daerah bahwa hak-hak mereka tidak boleh lagi diabaikan.”(redaksiSF)
Post Views: 279