banner 728x250

RSUP Raja Ahmad Tabib di Persimpangan: Reformasi Tata Kelola atau Terjebak Lingkaran Utang

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Tanjungpinang. Provinsi Kepulauan Riau.— Di balik megahnya bangunan RSUP Raja Ahmad Tabib (RAT), rumah sakit rujukan utama Provinsi Kepulauan Riau, tersimpan persoalan keuangan yang kian menjadi sorotan. Data menunjukkan, pada akhir 2024 beban utang rumah sakit mencapai Rp29,2 miliar, meski telah berkurang menjadi Rp15,9 miliar pada pertengahan 2025. Penurunan ini belum cukup untuk menutupi fakta bahwa masalah yang dihadapi bersifat struktural dan berpotensi berulang.

banner 325x300

Beban Rujukan Nasional, Pendanaan Lokal
Status sebagai rumah sakit rujukan prioritas nasional membawa mandat berat. RSUP RAT wajib melayani penyakit berbiaya tinggi seperti kanker, jantung, stroke, uronefrologi, hingga kesehatan ibu dan anak. Standar mutu yang ditetapkan Kementerian Kesehatan RI menuntut fasilitas modern, tenaga medis spesialis, serta suplai obat dan peralatan berkesinambungan. Namun, pendanaan masih bergantung pada klaim BPJS Kesehatan, APBN, APBD, dan penerimaan langsung. Pola ini membuat rumah sakit kesulitan menjaga keseimbangan antara beban layanan dan kemampuan finansial.

Seorang pakar manajemen rumah sakit dari Universitas Indonesia menilai situasi ini sebagai bentuk paradoks layanan kesehatan di Indonesia. Mandat pelayanan nasional tidak selalu diikuti dukungan anggaran yang memadai, sementara tarif INA-CBG’s sering kali tidak menutup biaya riil perawatan. Tanpa reformasi menyeluruh dalam tata kelola dan skema pembiayaan, risiko defisit akan terus menghantui.

Akar Masalah yang Kompleks
Penelusuran mengungkap sejumlah faktor pemicu krisis utang. Tata kelola internal dinilai masih administratif dan belum mengadopsi manajemen risiko keuangan modern. Standar layanan yang tinggi seringkali tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh, terutama dari klaim BPJS. Lonjakan pasien pasca-pandemi mempersempit ruang optimalisasi anggaran. Program pengendalian mutu dan biaya, termasuk mekanisme rujuk balik, belum efektif, menyebabkan pembengkakan pengeluaran obat dan bahan medis.

Seorang pengamat kebijakan kesehatan menegaskan bahwa untuk kasus penyakit katastropik seperti kanker dan jantung, tarif INA-CBG’s bisa defisit hingga 40 persen dari biaya riil. Tanpa subsidi tambahan atau penyesuaian tarif, rumah sakit akan terus mengalami kebocoran anggaran.

Dampak pada Layanan dan Risiko bagi Pasien
Meski pihak manajemen menampik adanya penurunan kualitas layanan, sejumlah sumber internal menyebut keterlambatan pembayaran jasa pelayanan menurunkan motivasi sebagian tenaga medis. Penundaan suplai obat dan alat kesehatan oleh vendor karena tunggakan pembayaran juga mulai terasa. Jika dibiarkan, kondisi ini berpotensi mengganggu penanganan gawat darurat maupun operasi besar.

Respon Manajemen dan Kritik Publik. Manajemen RSUP RAT telah mengumumkan enam strategi perbaikan, mulai dari penguatan pengawasan internal, penyesuaian layanan dengan ketentuan BPJS, optimalisasi sistem SIMETRIS, hingga pelunasan utang secara bertahap. Namun, sejumlah ekonom kesehatan menilai pendekatan ini lebih bersifat reaktif ketimbang strategis.

Aliansi Gerakan Bersama (Geber) Kepri- Tanjungpinang ikut angkat suara. Mereka menilai perlu dilakukan audit menyeluruh terhadap potensi penyalahgunaan keuangan dan ketidakterbukaan tata kelola. Namun, Geber juga mengingatkan agar pihak-pihak yang mengatasnamakan lembaga tertentu tidak memanfaatkan situasi ini untuk melakukan negosiasi yang justru merugikan RSUP RAT dan masyarakat. Menurut mereka, tindakan semacam itu berisiko menjadi bentuk tekanan atau bahkan indikasi pemerasan dari oknum tertentu.

Skenario Masa Depan sejumlah analis memproyeksikan tiga kemungkinan arah ke depan. Jika ada dukungan penuh dari APBD dan APBN disertai reformasi tarif INA-CBG’s, utang bisa tuntas dalam 2–3 tahun. Jika hanya mengandalkan efisiensi internal, penurunan utang akan lambat dan mengorbankan investasi peralatan baru. Tanpa intervensi signifikan, defisit berpotensi melonjak hingga di atas Rp40 miliar pada 2027, mengancam status rujukan nasional.

RSUP RAT kini berada di persimpangan penting: berani melakukan reformasi tata kelola dan pembiayaan, atau terus terjebak dalam lingkaran utang yang menggerus kapasitas layanan publik.

Pihak manajemen menutup pernyataan resmi dengan janji mempertahankan mutu layanan dan profesionalisme sebagai rumah sakit rujukan provinsi sekaligus rumah sakit pendidikan. Namun, di tengah tekanan keuangan dan tuntutan transparansi, pertanyaan yang mengemuka di publik tetap sama: apakah komitmen itu mampu bertahan menghadapi badai finansial yang belum reda?”(arf)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *