sidikfokusnews.com-Jakarta.— Presiden Prabowo Subianto merombak susunan Kabinet Merah Putih dengan melantik 11 pejabat negara di Istana Negara, Rabu (17/9). Dari menteri hingga wakil menteri dan kepala lembaga, reshuffle ini tak hanya menjadi soal penyegaran, melainkan juga manuver politik yang sarat pesan konsolidasi.
Nama Djamari Chaniago yang dipercaya sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) menegaskan prioritas Prabowo pada isu keamanan nasional. Djamari dikenal sebagai figur keras dengan rekam jejak panjang dalam isu pertahanan. Menurut analis politik LIPI, Wasisto Raharjo Jati, penunjukan ini menunjukkan kalkulasi serius Prabowo dalam mengantisipasi eskalasi geopolitik di Laut Cina Selatan, sekaligus memperkuat kontrol sipil atas aparat keamanan. “Prabowo membutuhkan sosok yang bisa meredam gesekan antar lembaga penegak hukum sekaligus memastikan loyalitas penuh pada agenda pemerintah,” ujarnya.
Di sisi lain, kembalinya Erick Thohir sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga mengundang tafsir politik. Erick, yang sebelumnya sukses mengendalikan BUMN dan punya jejaring internasional, dianggap menjadi figur kompromi antara kepentingan politik dan kebutuhan teknokratis. Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menilai, Erick bukan sekadar mengurus olahraga, tapi menjadi pintu masuk mengelola bonus demografi. “Menpora itu simbolik, tapi lewat Erick, Prabowo bisa mengaitkan anak muda dengan agenda ekonomi kreatif, sekaligus menjaga dukungan kelompok pemilih muda,” jelasnya.
Nama Muhammad Qodari yang dipercaya sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) justru paling banyak dibaca sebagai manuver politik. Sebagai direktur eksekutif Indobarometer, Qodari dikenal vokal membela kebijakan pemerintah. Masuknya ke lingkar inti kekuasaan disebut-sebut sebagai strategi memperkuat komunikasi politik pemerintah. Pengamat komunikasi politik UGM, Mada Sukmajati, menyebut langkah ini sebagai “politik pengamanan wacana.” “Pemerintah tampaknya sadar, tantangan ke depan bukan hanya soal kinerja, tapi juga narasi publik. Qodari akan menjadi komandan opini,” katanya.
Beberapa nama lain seperti Afriansyah Noor (Wakil Menteri Ketenagakerjaan) dan Rohmat Marzuki (Wakil Menteri Kehutanan) dianggap sebagai hasil negosiasi dengan partai koalisi. Hal ini menguatkan kesan reshuffle bukan hanya soal meritokrasi, tapi juga akomodasi politik. “Prabowo menjaga keseimbangan. Tekanan dari partai koalisi harus diakomodasi, sekaligus memastikan loyalitas di tahun-tahun awal pemerintahan,” ungkap analis CSIS Arya Fernandes.
Yang menarik, BGN (Badan Geospasial Nasional) kini punya dua wakil kepala, Naniek S Dayang dan Sonny Sanjaya. Konfigurasi ini dinilai tidak biasa, namun dianggap strategis untuk memperkuat koordinasi pembangunan berbasis data geospasial, terutama terkait infrastruktur, agraria, hingga keamanan perbatasan.
Reshuffle kabinet kali ini memperlihatkan tiga poros kepentingan: konsolidasi keamanan (Djamari Chaniago), penguatan basis politik-pemuda (Erick Thohir), dan pengelolaan narasi publik (Muhammad Qodari). Namun di luar itu, akomodasi politik masih menjadi benang merah. “Kinerja mereka akan diuji segera. Jika reshuffle hanya jadi ajang bagi-bagi kursi, publik akan cepat kecewa,” tegas Wasisto.
Dengan komposisi baru ini, Kabinet Merah Putih berdiri di persimpangan: apakah mampu menjawab ekspektasi rakyat dengan kerja nyata, atau terjebak dalam kalkulasi politik jangka pendek. Publik kini menunggu bukti, bukan sekadar seremonial pelantikan.”arf-6