sidikfokusnews.com – Kajian terhadap pidato seorang presiden tidak hanya penting dalam konteks politik, tetapi juga dalam ranah ilmu bahasa dan pendidikan. Pidato kenegaraan merupakan cermin ideologi, nilai, dan arah kepemimpinan yang dikonstruksi melalui pilihan bahasa. Bahasa dalam pidato pemimpin nasional berfungsi sebagai alat persuasi, simbol kekuasaan, sekaligus sarana pembentukan citra diri. Oleh sebab itu, analisis wacana kritis menjadi pendekatan yang tepat untuk memahami bagaimana bahasa berperan dalam membangun kekuasaan dan kesadaran sosial.
Pendekatan analisis wacana kritis yang diperkenalkan oleh Norman Fairclough memandang bahasa sebagai praktik sosial yang tidak pernah netral. Bahasa selalu terkait erat dengan ideologi dan kekuasaan. Melalui tiga dimensinya — teks, praktik wacana, dan praktik sosial budaya — Fairclough menjelaskan bagaimana makna dibentuk, diinterpretasi, dan dihubungkan dengan struktur sosial yang lebih luas. Dalam konteks pidato Presiden Prabowo Subianto, bahasa yang digunakan menggambarkan upaya membangun citra pemimpin yang tegas, nasionalis, dan berorientasi pada kemandirian bangsa.
Pilihan kata seperti “kebangkitan,” “kedaulatan,” dan “keadilan” tidak hanya bersifat retoris, melainkan juga ideologis. Kata-kata tersebut mengandung makna simbolik yang menegaskan semangat patriotisme dan tanggung jawab sosial. Struktur pidato yang sistematis, intonasi yang kuat, serta gaya tuturan yang lugas menunjukkan strategi diskursif untuk membangun legitimasi kepemimpinan di hadapan rakyat. Dari perspektif Fairclough, semua elemen kebahasaan ini adalah bagian dari strategi untuk menciptakan hubungan timbal balik antara wacana, kekuasaan, dan masyarakat.
Dalam konteks pembelajaran Bahasa Indonesia, analisis wacana kritis terhadap pidato kenegaraan seperti ini memiliki nilai edukatif yang tinggi. Guru dan dosen bahasa dapat memanfaatkan pidato tokoh publik sebagai bahan ajar yang mengintegrasikan aspek linguistik, sosial, dan ideologis. Siswa tidak hanya belajar tentang struktur kalimat atau diksi, tetapi juga tentang bagaimana bahasa digunakan untuk membangun makna dan memengaruhi pemikiran publik. Pembelajaran semacam ini menumbuhkan literasi kritis, yaitu kemampuan membaca teks dengan kesadaran akan konteks sosial dan ideologi yang melatarinya.
Penerapan analisis wacana kritis dalam pendidikan bahasa juga berperan dalam membentuk peserta didik yang reflektif dan berpikir analitis. Mereka akan terbiasa menilai teks berdasarkan isi, tujuan, dan dampak sosialnya. Hal ini penting dalam menghadapi derasnya arus informasi di era digital, di mana bahasa sering digunakan untuk membentuk opini publik dan mengarahkan persepsi masyarakat. Dengan pemahaman kritis, siswa dapat menjadi pembaca aktif yang tidak mudah terpengaruh oleh retorika, melainkan mampu menilai dan menafsirkan teks secara objektif.
Dengan demikian, kajian berjudul “Representasi Ideologi dalam Pidato Kepemimpinan Nasional: Analisis Wacana Kritis terhadap Tuturan Presiden Prabowo Subianto dan Relevansinya bagi Pembelajaran Bahasa Indonesia” bukan hanya memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu linguistik kritis, tetapi juga memberikan arah baru bagi praktik pendidikan bahasa di Indonesia. Bahasa dalam konteks ini dipahami sebagai kekuatan budaya dan moral yang dapat membentuk kesadaran kebangsaan, karakter, dan kecerdasan sosial.
Oleh: Sukardi
Mahasiswa Pascasarjana S3
Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (UHAMKA)