sidikfokusnews.com-Tanjungpinang. – Suasana politik dan sosial di Kepulauan Riau memanas menjelang Hari Jadi Provinsi pada 24 September 2025. Aliansi Gerakan Bersama Rakyat Kepri mengumumkan akan menggelar aksi besar di Gedung DPRD Kepri dan dilanjutkan menuju Kawasan Tepi Laut Tanjungpinang. Langkah ini diambil sebagai bentuk penolakan terhadap rencana kebijakan pelelangan pengelolaan Kawasan Gurindam 12 yang dinilai mengancam hak masyarakat atas ruang terbuka publik.
Sebelum aksi berlangsung, aliansi akan menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan melibatkan beragam unsur masyarakat. Mereka menegaskan bahwa rapat dengar pendapat (RDP) tidak boleh dilakukan di ruang Ketua DPRD yang dianggap sarat kepentingan politik, melainkan di ruang netral agar tidak ada kesan dominasi pihak tertentu. Aliansi juga menuntut kehadiran pihak pengelola Gurindam 12, Dinas PUPR, PU, BKAD, serta Komisi I, II, dan III DPRD Kepri untuk memberikan penjelasan secara transparan.
Gurindam 12 yang selama ini menjadi ikon Tanjungpinang dipandang bukan hanya sebatas ruang publik, melainkan representasi identitas budaya dan wadah interaksi sosial warga. Upaya menyerahkan pengelolaan ke pihak swasta dinilai sebagai langkah yang menggerus hak publik.
Pakar tata kota, mengingatkan bahwa komersialisasi ruang publik sama saja dengan menggadaikan masa depan masyarakat. “Ketika ruang publik diprivatisasi, orientasi keuntungan akan mengalahkan fungsi sosial. Akses masyarakat bisa dibatasi, bahkan terpinggirkan. Pemerintah seharusnya memperkuat pengelolaan berbasis pelayanan publik, bukan menyerahkannya kepada mekanisme pasar,” tegasnya.
Nada serupa disuarakan pengamat kebijakan publik. Ia menilai Gurindam 12 sebagai “paru-paru sosial” yang berfungsi menjaga keseimbangan antara kehidupan kota dan warga. Menurutnya, pemerintah harus berhati-hati agar tidak memicu konflik horizontal. “Jika ruang terbuka ini dipasung dengan aturan tarif atau pembatasan akses, sama artinya pemerintah sedang membangun tembok pemisah di tengah masyarakat. Itu bisa menyalakan api perlawanan,” katanya.
Rencana aksi pada Hari Jadi Provinsi Kepri bukan sekadar demonstrasi, melainkan simbol perlawanan terhadap praktik tata kelola daerah yang dianggap elitis dan jauh dari rakyat. Aliansi ingin menegaskan bahwa ruang publik bukanlah komoditas, melainkan hak yang melekat pada masyarakat.
Banyak pihak menaruh harapan agar FGD dan RDP nanti tidak berhenti pada seremoni, melainkan menjadi ajang pertarungan ide yang nyata. Transparansi, keterlibatan masyarakat, dan pelestarian nilai budaya Gurindam 12 disebut sebagai garis merah yang tak boleh dilewati pemerintah.
Gelombang kritik semakin deras, dan aksi yang akan datang diyakini bisa menjadi penentu arah kebijakan pengelolaan ruang publik di Kepri. Bila suara rakyat kembali diabaikan, tidak menutup kemungkinan Gurindam 12 berubah menjadi simbol perlawanan baru terhadap wajah pemerintahan yang dinilai semakin menutup diri.”timredaksiSF