Sidikfokusnews.com – Batam, 7 Juli 2025.-Dunia tempat remaja kita tumbuh hari ini sangat berbeda dengan zaman dulu. Mereka tidak hanya hidup di antara layar-layar digital, tetapi juga dalam tekanan sosial yang tak kasatmata. Di balik tawa yang dibagikan lewat story dan unggahan media sosial, ada banyak Gen Z yang tengah menyembunyikan luka: dari cemas yang tak bisa dijelaskan, krisis kepercayaan diri, tekanan akademik, hingga rasa kehilangan makna hidup di usia belasan tahun.
Tak sedikit dari mereka yang berjalan sendirian di tengah keramaian. Bahkan ketika berada di lingkungan sekolah, banyak yang merasa tidak tahu kepada siapa harus bicara. Sementara para guru yang luar biasa berdedikasi pun kerap dihadapkan pada keterbatasan waktu, metode, bahkan pendekatan yang tepat untuk menjangkau sisi terdalam remaja hari ini.
Melihat kenyataan itu, Jejak Langkah Pendidikan Indonesia (Jalanin) Wilayah Kepulauan Riau hadir bukan sekadar sebagai organisasi, tetapi sebagai panggilan kemanusiaan. Kami percaya, solusi dari keresahan remaja tidak cukup hanya dengan program formal dan pelajaran di kelas. Mereka butuh sesuatu yang lebih personal. Lebih hadir. Lebih menyentuh.
Kami menyebutnya: fasilitator kehidupan.
Fasilitator kehidupan bukan guru, bukan dosen, bukan konselor klinis. Mereka adalah sahabat yang terlatih—pendengar yang tulus, penyemangat yang lembut, dan penunjuk jalan yang tidak menggurui. Sosok yang mampu duduk bersama remaja, mendengarkan tanpa menghakimi, membantu tanpa mendikte, dan hadir bukan untuk menilai, melainkan untuk menemani.
Melalui program pelatihan fasilitator kehidupan yang tengah kami rancang dan sebar di berbagai wilayah Kepulauan Riau, Jalanin Kepri ingin membangun jembatan baru dalam dunia pendidikan dan kemanusiaan. Sebuah jembatan empati. Karena kami percaya, satu remaja yang didampingi dengan hati dan kompetensi, adalah satu masa depan yang diselamatkan.
Membentuk fasilitator kehidupan bukan sekadar proyek sosial. Ini adalah investasi bangsa. Sebab generasi hebat tidak lahir dari rapor sempurna semata, tetapi dari jiwa yang utuh, dari anak-anak muda yang tahu siapa diri mereka dan ke mana mereka ingin melangkah.
Sudah saatnya kita ubah cara pandang terhadap remaja. Mereka bukan hanya pelajar yang duduk di bangku kelas. Mereka adalah manusia muda yang sedang mencari makna, arah, dan pegangan hidup. Maka tanggung jawab kita adalah menciptakan ekosistem yang ramah, aman, dan penuh kasih—bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempat tumbuh.
Kami di Jalanin Kepri mengajak siapa pun yang punya hati dan kepedulian—baik guru, pemuda, relawan, orang tua, tokoh masyarakat, hingga komunitas lintas bidang—untuk bergabung dalam gerakan ini. Mari kita hadir, bukan sebagai pengajar, tetapi sebagai sesama manusia yang mau berjalan bersama.
Karena masa depan bangsa bukan ditentukan di ruang ujian, tetapi ditentukan oleh siapa yang bersedia hadir saat seorang remaja berkata dalam hatinya: “Aku butuh teman yang benar-benar peduli.”
Oleh: Budi Hendrika
Ketua Umum Jejak Langkah Pendidikan Indonesia (Jalanin) Kepulauan Riau.” (Tim Redaksi SP)
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 157