sidikfokusnews.com-Tanjungpinang — Kepulauan Riau kembali dihadapkan pada persoalan pelik dalam tata kelola aparatur sipil negara. Ratusan tenaga kerja non-ASN, termasuk pegawai tenaga kontrak (PTK) dan honorer di lingkungan pemerintahan provinsi, dikabarkan harus “dirumahkan” menyusul ketiadaan regulasi yang mengatur keberadaan mereka pasca pelantikan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahap I, II, dan paruh waktu.
Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Kepri, Yenni Tri Isabella, menyatakan bahwa per Oktober ini tidak ada lagi pegawai non-ASN yang secara resmi diakui dalam sistem kepegawaian daerah. Keputusan tersebut, menurutnya, merupakan konsekuensi dari kebijakan nasional yang menghapus status tenaga honorer di seluruh instansi pemerintahan.
“Setelah pelantikan PPPK tahap I, II, dan PPPK paruh waktu, tidak ada lagi pegawai non-ASN. Mereka yang masih berstatus tenaga kontrak atau honorer harus dirumahkan karena tidak ada dasar hukum yang membolehkan keberlanjutan status mereka,” ujarnya.
Pernyataan itu sontak menimbulkan kegelisahan di kalangan tenaga non-ASN, yang selama bertahun-tahun menjadi tulang punggung layanan publik di berbagai instansi pemerintahan. Banyak di antara mereka bekerja di sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, hingga pelayanan administrasi daerah.
Langkah “perumahan massal” ini dikhawatirkan berdampak signifikan terhadap kinerja pelayanan publik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Beberapa kepala dinas di lingkungan Pemprov Kepri bahkan mengaku kesulitan membayangkan operasional lembaganya tanpa bantuan tenaga non-ASN yang selama ini menopang pekerjaan teknis harian.
“Kalau mereka benar-benar diberhentikan tanpa solusi transisi, ini bukan hanya soal nasib ratusan keluarga, tapi juga soal keberlangsungan pelayanan publik. Banyak posisi strategis yang selama ini diisi oleh tenaga kontrak, bukan ASN,” ungkap salah satu pejabat di lingkungan Pemprov Kepri yang enggan disebut namanya.
Pakar administrasi publik, menilai kebijakan ini merupakan akibat dari ketidaksiapan pemerintah daerah dan pusat dalam mengantisipasi masa transisi penghapusan tenaga honorer. Menurutnya, regulasi penghapusan non-ASN semestinya disertai dengan peta jalan (roadmap) yang jelas agar tidak menimbulkan kekosongan tenaga kerja dan ketidakpastian hukum.
“Secara prinsip, pemerintah memang ingin menertibkan status kepegawaian agar semua tenaga kerja masuk dalam sistem ASN atau PPPK. Namun, tanpa peraturan teknis yang mengatur mekanisme peralihan, keputusan seperti ini justru berpotensi melanggar asas keadilan sosial dan perlindungan ketenagakerjaan,” sebutnya.
Ia menambahkan, banyak tenaga honorer telah bekerja belasan tahun dengan kontribusi besar terhadap pelayanan publik, namun kini justru terancam kehilangan pekerjaan tanpa kepastian. “Negara tidak boleh abai terhadap pengabdian mereka. Minimal harus ada solusi transisi atau skema khusus sampai regulasi baru diterbitkan,” tegasnya.
Desakan untuk Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejumlah organisasi tenaga honorer di Kepri mulai menyusun langkah advokasi agar pemerintah daerah dan pusat segera duduk bersama mencari solusi. Mereka menuntut kepastian hukum serta mempertanyakan keadilan dalam proses seleksi PPPK yang disebut belum sepenuhnya inklusif bagi tenaga kontrak lama.
“Banyak di antara kami tidak lolos PPPK bukan karena tidak kompeten, tapi karena kuota terbatas. Apakah adil jika kemudian kami dianggap tidak lagi dibutuhkan? Padahal kami sudah mengabdi bertahun-tahun,” kata salah seorang tenaga kontrak di lingkungan Dinas Pendidikan Kepri.
Gelombang ketidakpastian ini menunjukkan bahwa persoalan tenaga non-ASN bukan sekadar soal administrasi, tetapi juga menyangkut wajah kemanusiaan dan etika pemerintahan. Ketika kebijakan pusat diterapkan tanpa kesiapan regulasi turunan, yang menjadi korban pertama adalah mereka yang berada di garda depan pelayanan masyarakat.
Kini, ribuan mata memandang ke arah Pemerintah Provinsi Kepri dan Kementerian PAN-RB: apakah akan ada kebijakan penyelamat, atau sejarah baru pengangguran massal di tubuh birokrasi akan benar-benar tercipta?
Karena jika regulasi tak segera hadir, maka “dirumahkan” bukan sekadar istilah administratif — melainkan vonis sosial bagi ratusan pengabdi negeri yang telah lama setia tanpa kepastian.
arf-6

















