banner 728x250

Provinsi Natuna–Anambas: Idealisme Otonomi dan Bayangan Gagalnya Daerah Pemekaran

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.— wacana pembentukan Provinsi Natuna–Anambas kembali menyalakan perdebatan panjang antara idealisme otonomi dan realitas hukum negara. Dalam sebuah forum silaturahmi antara tokoh masyarakat dan anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau dari daerah pemilihan Natuna–Anambas, muncul argumen tajam dari kalangan akademisi dan pemerhati otonomi yang menilai bahwa gagasan ini masih jauh dari matang—baik secara legalitas, akademik, maupun kesiapan institusional.

banner 325x300

Salah satu tokoh masyarakat Anambas, Syahzinan, S.E., menilai bahwa secara formal dan hukum positif, pembentukan Provinsi Natuna–Anambas belum memenuhi syarat objektif sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB).

“Secara legalitas formal dan terang benderang, belum bisa dijadikan DOB. Belum lagi dari perspektif sejarah, efek berlapis (multilayer effect), dan break-even point manfaat ekonomi. Kita harus realistis menimbang bargaining power position dan rasionalitas pembentukan daerah baru,” ujarnya dalam forum yang juga dihadiri sejumlah legislator provinsi.

Zinan menyinggung hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bersama Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), yang menyebut bahwa 80 persen DOB yang lahir antara 1999–2009 gagal total.
“Sebagian besar tidak mandiri dan kelahirannya dipaksakan untuk kepentingan segelintir elite lokal. Banyak yang lahir secara prematur dan abnormal,” tegasnya.

Dalam forum tersebut hadir pula anggota DPRD Provinsi Kepri dari Dapil Natuna–Anambas, di antaranya Mustamin Bakri, Daeng Amhar, dan Marzuki. Namun, menurut Zinan, seluruh argumentasi yang mereka paparkan masih bersifat politis dan tidak ditopang data akademik yang kuat.
“Semua narasi yang disampaikan bisa kita patahkan secara basis data, akademis, dan intelektualitas,” ujarnya, menganalogikan bahwa “dalam permainan sepak bola, Anambas menang telak 3–0 melawan Natuna tanpa perlawanan.”

Salah satu peserta diskusi kemudian mengajukan pertanyaan substantif yang menjadi titik kritis: apakah telah dilakukan kajian akademik komprehensif sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah?
PP tersebut secara tegas mensyaratkan adanya kajian mendalam yang meliputi kemampuan ekonomi, potensi sumber daya, sosial budaya, politik, dan keamanan sebagai prasyarat utama pemekaran wilayah.

Dari sudut pandang geopolitik, pembentukan Provinsi Natuna–Anambas kerap dikaitkan dengan upaya memperkuat posisi strategis Indonesia di kawasan Laut Natuna Utara yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan. Namun, sejumlah pengamat menilai, klaim ini perlu dibedakan antara fungsi pertahanan negara (state defense) dan administrasi pemerintahan (state governance).

Menurut Dr. Rudi Santosa, pengamat kebijakan publik dan otonomi daerah dari Universitas Indonesia, pembentukan DOB tidak serta merta memperkuat posisi strategis suatu wilayah di bidang pertahanan.

“Kekuatan geopolitik tidak ditentukan oleh banyaknya provinsi di wilayah perbatasan, tetapi oleh kemampuan negara mengelola sumber daya, infrastruktur militer, dan diplomasi pertahanan secara terintegrasi,” ujarnya.

Ia menambahkan, jika pembentukan provinsi baru hanya berorientasi pada status politik tanpa perencanaan fiskal yang realistis, “itu justru akan menciptakan liability baru bagi negara.”

Pendapat senada dikemukakan Dr. Ida Nurul Khotimah, ahli hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran. Menurutnya, dasar pembentukan daerah otonom baru harus bersandar pada argumentasi konstitusional dan administratif yang kuat.

“UUD 1945 melalui Pasal 18 mengamanatkan otonomi daerah untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat, bukan untuk melahirkan struktur pemerintahan baru yang membebani keuangan negara,” jelasnya.

Ia mengingatkan agar pemerintah daerah tidak tergoda romantisme sejarah atau simbolisme identitas lokal tanpa menghitung implikasi fiskal dan administratif secara cermat.

Dari sisi keuangan daerah, sejumlah pengamat fiskal menilai bahwa pemerintah provinsi maupun kabupaten harus terlebih dahulu menyiapkan mekanisme pembiayaan, pembagian aset, dan sumber daya manusia yang rasional.

“Jangan sampai pembentukan DOB justru memperbanyak struktur birokrasi tanpa produktivitas ekonomi yang memadai. APBD dan APBN kita sudah sangat terbebani oleh belanja pegawai di daerah-daerah baru,” ujarnya.

Sebagian besar DOB hasil pemekaran terdahulu memang gagal mencapai break-even point bahkan setelah lebih dari satu dekade berdiri.

“Banyak daerah otonom baru yang hidup dari dana transfer pusat tanpa basis ekonomi mandiri. Ini menciptakan paradoks otonomi: secara hukum mereka otonom, tapi secara ekonomi tergantung penuh,” tambahnya.

Dalam konteks Natuna–Anambas, kompleksitas persoalan bukan hanya administratif, tetapi juga historis dan sosiopolitik. Kedua wilayah memiliki akar budaya yang sama namun berbeda pengalaman pembangunan dan persepsi terhadap keadilan fiskal.
Wacana provinsi baru ini, bagi sebagian kalangan, adalah bentuk perlawanan terhadap sentralisasi pembangunan di Pulau Batam dan Tanjungpinang. Namun bagi kalangan lainnya, langkah ini dianggap tergesa tanpa fondasi akademik yang memadai.

Pada akhirnya, seperti ditegaskan Zinan dalam pernyataan penutupnya, semangat otonomi tidak boleh kehilangan arah rasionalitas.
“Otonomi bukan soal siapa lebih dulu menjadi provinsi, tetapi siapa yang lebih siap secara hukum, ekonomi, dan moral untuk mengelola dirinya,” katanya dengan nada reflektif.

Wacana pembentukan Provinsi Natuna–Anambas masih terbuka, tetapi perdebatan yang menyertainya menegaskan satu hal: bahwa otonomi sejati bukan soal pemekaran, melainkan tentang kemampuan daerah untuk berdiri di atas kakinya sendiri.”arf-6

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *