sidikfokusnews.com – Batam.-2025 Kota Batam sebagai bandar dunia madani di kawasan perbatasan Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Dalam sebuah tulisan reflektif dan akademis, Prof. Dr. Ir. Chalullulah Wibisono, MM—Guru Besar Universitas Batam sekaligus Waketum MUI Provinsi Kepulauan Riau dan Ketua FKUB Batam—menegaskan bahwa pembangunan Batam yang berkelanjutan dan berkeadaban harus ditopang oleh peran strategis para ulil albab, yakni kaum intelektual yang tidak hanya cerdas secara keilmuan, tetapi juga bijaksana secara spiritual.
Dalam narasinya, Prof. Chalullulah menjelaskan bahwa ilmuwan, ulama, dan ulil albab memiliki kontribusi fundamental dalam membentuk kompetensi Islami yang kokoh melalui sistem pendidikan yang integratif. Ilmuwan memberikan pondasi keilmuan dan metodologi dalam memahami ajaran agama, sementara ulama sebagai pewaris nabi berperan sebagai penafsir nilai-nilai Al-Qur’an dan sunnah yang hidup dalam masyarakat. Namun demikian, ulil albab adalah mereka yang lebih dalam lagi: sosok yang tidak hanya menguasai ilmu, tetapi juga menyelaraskan keilmuannya dengan nilai-nilai spiritual, kebijaksanaan, dan kepekaan sosial.
Menurutnya, ulil albab adalah kaum intelektual yang menggabungkan rasionalitas ilmiah dengan kebeningan spiritual. Mereka tidak sekadar mengejar ilmu untuk gelar dan pengakuan duniawi, tetapi menjadikannya sebagai sarana untuk mencapai nilai-nilai agung dan pengabdian kepada Allah SWT. Dalam konteks pembangunan Batam, kehadiran ulil albab menjadi penentu arah kemajuan kota ini—agar tidak semata terfokus pada aspek fisik dan ekonomi, tetapi juga memiliki dimensi moral dan kemanusiaan yang mendalam.
Prof. Chalullulah juga menyinggung kegagalan sistem pendidikan dalam melahirkan pribadi-pribadi yang utuh. Ia menyoroti kenyataan ironis bahwa tidak sedikit intelektual yang justru terjerumus dalam kejahatan moral seperti korupsi, manipulasi, dan kolusi. Fakta ini diperkuat oleh data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2023 yang menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku korupsi berasal dari kalangan berpendidikan tinggi, seperti pejabat publik, akademisi, dan profesional. Grafik distribusi pelaku korupsi berdasarkan latar belakang profesi bahkan memperlihatkan bahwa 45% pelaku berasal dari kalangan pejabat publik, disusul akademisi (25%) dan profesional lainnya (15%).
Hal ini, menurut Prof. Chalullulah, menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang hanya menekankan aspek kognitif dan teknokratis, tanpa menyentuh kesadaran etik dan spiritual, justru menghasilkan manusia-manusia cerdas namun hampa moral. Akibatnya, ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi cahaya peradaban berubah menjadi alat pembenaran atas kejahatan yang terorganisir, bahkan dilegalkan dalam ranah birokrasi dan politik.
Lebih lanjut, Prof. Chalullulah menyerukan perlunya paradigma pendidikan baru yang mampu membentuk insan ulil albab—yakni manusia yang tidak hanya pandai berpikir, tetapi juga bersih hati dan tajam nuraninya. Pendidikan yang mengintegrasikan ilmu dan iman, logika dan nilai, pengetahuan dan kebijaksanaan, diyakini menjadi fondasi bagi kebangkitan peradaban madani, sebagaimana yang dicita-citakan dalam pembangunan Batam masa depan.
Ia mengajak seluruh pemangku kepentingan—termasuk lembaga pendidikan, tokoh agama, pemerintah, dan masyarakat sipil untuk bersinergi dalam membangun ekosistem pembelajaran yang melahirkan generasi ulil albab. Generasi ini bukan hanya mampu menciptakan inovasi teknologi atau mencetak pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memiliki integritas, empati, dan dedikasi untuk mewujudkan keadilan sosial serta keberkahan bagi seluruh umat manusia.
Dengan semangat itu, Prof. Chalullulah menegaskan bahwa membangun Batam sebagai bandar dunia madani bukanlah proyek fisik semata, melainkan proyek peradaban. Dan proyek peradaban hanya dapat berhasil jika dipimpin oleh mereka yang memiliki ilmu yang dalam, akhlak yang luhur, serta visi spiritual yang terang—yaitu para ulil albab.”(Nursalim Turatea).