sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.– Polemik pemekaran daerah otonomi baru (DOB) kembali mencuat di Kepulauan Riau (Kepri) setelah wacana pembentukan Provinsi Natuna–Anambas mendapat dukungan politik cepat dari Gubernur Ansar Ahmad dan Ketua DPRD Kepri. Sejumlah tokoh masyarakat, khususnya dari Anambas, mempertanyakan urgensi dan prosedur yang ditempuh dalam mengeluarkan rekomendasi pemekaran tersebut.
Tokoh pejuang pembentukan Kabupaten Anambas dan juga Provinsi Kepri menegaskan bahwa pemekaran wilayah bukanlah sekadar urusan politik praktis, melainkan menyangkut tata kelola pemerintahan, kesejahteraan masyarakat, serta keberlanjutan pembangunan. “Anambas memiliki ikatan sejarah dan budaya yang kuat dengan Tanjungpinang. Kota ini sudah seperti rumah kedua bagi kami. Maka ketika bicara pemekaran, jangan hanya mengejar kepentingan sesaat, tetapi ikuti aturan yang ada,” ujarnya.
Secara hukum, pemekaran daerah masih tunduk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Regulasi tersebut menetapkan sejumlah persyaratan mendasar: pemenuhan aspek administratif, teknis, dan kewilayahan.
Pakar otonomi daerah dari Universitas Indonesia, Dr. Budi Santosa, menjelaskan bahwa syarat utama pemekaran tidak hanya menyangkut jumlah kabupaten/kota, tetapi juga kesiapan sumber daya manusia, kapasitas fiskal, serta efektivitas rentang kendali pemerintahan. “Pemekaran tidak bisa hanya berdasarkan kajian politis. Harus ada kajian independen yang komprehensif untuk memastikan bahwa DOB baru benar-benar mampu berdiri dan mandiri secara kelembagaan maupun ekonomi,” tegasnya.
Salah satu argumen paling sering dikemukakan dalam pemekaran Natuna–Anambas adalah soal rentang kendali. Jarak Natuna dari Tanjungpinang mencapai sekitar 400 km, sementara Anambas berjarak 250 km. Akses transportasi udara maupun laut membutuhkan biaya besar dan waktu tempuh panjang.
Pakar tata kelola wilayah, Prof. Eko Prasetyo, menilai bahwa rentang kendali memang menjadi faktor yang sahih untuk dijadikan dasar pemekaran. “Dalam konteks archipelago seperti Kepri, rentang kendali berimplikasi langsung pada pelayanan publik. Namun, itu saja tidak cukup. Harus dibuktikan bahwa dengan membentuk provinsi baru, pelayanan benar-benar lebih efisien, bukan justru menambah beban birokrasi dan biaya pemerintahan,” jelasnya.
Dari sisi sosial budaya, masyarakat Anambas menekankan keterikatan historis dengan Tanjungpinang sebagai pusat administrasi dan interaksi budaya Melayu. “Sejak nenek moyang kami, Tanjungpinang sudah menjadi tempat kami beraktivitas. Anambas menjadikannya rumah kedua. Jangan sampai pemekaran justru memutus ikatan kultural ini,” ungkap seorang tokoh adat.
Menurut antropolog Dr. Nurhayati dari Universitas Riau, identitas budaya harus menjadi pertimbangan penting dalam kebijakan pemekaran. “Pemekaran bukan hanya soal administrasi, tetapi juga menyangkut kesatuan identitas masyarakat. Jika ikatan sosial budaya diabaikan, justru bisa memunculkan fragmentasi dan konflik kepentingan,” ujarnya.
Meski secara politik ada dorongan kuat, pakar-pakar menekankan perlunya kajian independen yang melibatkan akademisi, masyarakat sipil, dan lembaga riset. Kajian semacam itu akan memberikan gambaran objektif tentang kapasitas fiskal, kesiapan infrastruktur, serta dampak sosial budaya dari pembentukan Provinsi Natuna–Anambas.
“Tanpa kajian independen, rekomendasi pemekaran hanya akan menjadi instrumen politik. Padahal, pemekaran adalah kebijakan strategis yang berimplikasi jangka panjang bagi keberlangsungan pembangunan,” kata Dr. Budi.
Polemik pemekaran Natuna–Anambas mencerminkan kompleksitas tata kelola daerah di wilayah kepulauan. Rentang kendali memang menjadi alasan kuat, tetapi syarat regulasi dan kajian objektif harus tetap dipenuhi. Seperti yang diingatkan para tokoh dan pakar, jangan sampai pemekaran hanya dijadikan komoditas politik, tanpa memastikan kesiapan nyata di lapangan.”arf-6