banner 728x250

Polemik Lelang Gurindam 12: Janji DPRD, Minimnya Respons Pemprov, dan Ultimatum Rakyat Kecil

banner 120x600
banner 468x60

sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.– Polemik pelelangan kawasan Taman Gurindam 12 kian memanas. Harapan besar masyarakat agar rapat dengar pendapat (RDP) pada 23 September 2025 menjadi jalan keluar, justru kandas tanpa kepastian. Forum yang digelar dengan penuh atensi publik itu dinilai tak lebih dari seremonial politik.

RDP menghadirkan pejabat kunci, mulai dari Kepala Dinas PUPR, Kepala Dinas Pariwisata, Kepala Satpol PP, hingga Kabid BKAD. Dari unsur legislatif hadir anggota DPRD Dapil Tanjungpinang seperti Tedi Jun, Rudi, Clara, Bobby Jayanto, serta Ketua Komisi II, Drs. Khazalik. Sementara dari masyarakat, hadir Aliansi Gerakan Bersama Kepri (GEBER-KEPRI), pedagang Gurindam 12, organisasi mahasiswa, pemuda, tokoh agama, dan warga yang mengikuti jalannya rapat dengan penuh perhatian.

banner 325x300

Namun, sosok yang paling ditunggu, Gubernur Kepri, tak kunjung hadir. Rapat hanya melahirkan berita acara penundaan sementara pelelangan Gurindam 12 yang ditandatangani Ketua DPRD Kepri, Iman Setiawan, SE. Janji DPRD untuk segera menyampaikan hasil kesepakatan kepada Gubernur hingga kini belum terbukti. Lebih dari 48 jam setelah rapat, GEBER-KEPRI dan masyarakat tidak menerima salinan resmi, surat pemberitahuan, maupun komunikasi formal dari Pemprov.

Situasi ini menimbulkan kekecewaan mendalam. Publik semakin curiga bahwa hasil RDP sekadar “main-main” politik yang jauh dari penyelesaian substantif. Kepercayaan terhadap DPRD dan Pemprov pun semakin terkikis. Sejumlah tokoh menilai DPRD gagal meyakinkan eksekutif, sementara Pemprov dianggap abai pada keresahan rakyat.

Ketua Pedagang Gurindam 12 bersama sejumlah organisasi menegaskan, jika pemerintah tetap tak peduli, aksi demonstrasi lebih besar akan digelar pekan depan. Tuntutan mereka tetap sama: pelelangan Gurindam 12 harus dihentikan, legal standing pembangunan Gedung LAM Dekranasda dibuktikan secara konkret, serta ruang usaha UMKM dijamin di lokasi yang layak—bebas debu saat panas, tidak becek saat hujan, dan memiliki infrastruktur memadai. Janji DPRD terkait penataan kawasan Tanah Kuning atau Tujuh Langit pun kembali dipertanyakan realisasinya.

Sorotan Dana dan Audit Publik

Kritik tajam datang dari Ketua LSM GETUK yang menegaskan perlunya audit menyeluruh terhadap proyek Gurindam 12. Menurutnya, alokasi dana dari APBN dan APBD untuk proyek ini mencapai hampir Rp1 triliun, angka fantastis untuk sebuah kawasan publik. “Anggaran sebesar itu tidak boleh dibiarkan tanpa transparansi. Audit menyeluruh adalah kewajiban, bukan pilihan,” ujarnya.

Yusri Sabri juga mengingatkan, Gurindam 12 bukan sekadar aset ekonomi, melainkan wajah identitas daerah. Karena itu, pengelolaannya harus mencerminkan akuntabilitas keuangan negara sekaligus keberpihakan pada masyarakat.

Seorang pakar otonomi daerah menilai kaburnya hasil RDP memperlihatkan lemahnya koordinasi antara legislatif dan eksekutif. “Jika hanya berupa dokumen DPRD tanpa dukungan eksekutif, maka nilainya sebatas moral, tidak memiliki kekuatan administratif,” tegasnya.

Pengamat tata kelola pemerintahan turut mengingatkan, transparansi adalah kunci utama meredakan konflik. Hal itu sejalan dengan mandat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang menjamin hak masyarakat atas dokumen resmi. Lebih jauh, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang juga menegaskan ruang publik tidak boleh dialihkan menjadi komoditas bisnis.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahkan memberikan landasan filosofis: bumi, air, dan kekayaan alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dengan demikian, menjadikan Gurindam 12 sebagai barang dagangan jelas bertentangan dengan amanat konstitusi.

Ultimatum Rakyat Kecil

Dari barisan akar rumput, Ketua UMKM Gurindam 12 melontarkan ultimatum keras. “Jika pemerintah dan DPRD tidak konsisten dengan janji yang sudah disepakati, maka kami, rakyat kecil yang bertahan di bawah terik matahari dan keringat, akan kembali menegakkan hak kami di Blok B. Jangan salahkan kami jika situasi kembali memanas,” tegasnya.

Lebih jauh, ia mempertanyakan arah kebijakan pemerintah terkait wacana swastanisasi dan lelang kepada investor. “Di mana letak kepentingan rakyat jika ruang publik yang dibangun dengan uang negara akhirnya diperdagangkan? Sampai kapan rakyat kecil harus selalu menjadi barang dagangan?” pungkasnya.”timredaksiSF

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *