sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.– Polemik pengelolaan Kawasan Gurindam 12 kembali menjadi perbincangan hangat publik. Kawasan ikonik yang dibangun dengan dana ratusan miliar dari APBD Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) ini kini dipersoalkan dari aspek kewenangan, status aset, hingga rencana kerja sama pemanfaatan jangka panjang dengan pihak ketiga.
Ketua Pansus revisi RTRW Kota Tanjungpinang, di kala itu, Ashady Selayar, menegaskan bahwa investasi merupakan faktor kunci kemajuan ibu kota provinsi. Menurutnya, Tanjungpinang tidak akan berkembang tanpa kehadiran investor yang mampu mengelola aset strategis secara profesional. Ia juga mendorong agar ikon kota seperti Gedung Gonggong difungsikan sebagai pusat kreativitas pemuda, sejalan dengan visi pembangunan berbasis inovasi.
Pandangan ini diperkuat oleh pengamat kebijakan publik, Muhammad Alfan Suheri. Ia menilai penolakan terhadap rencana pengelolaan Gurindam 12 sebaiknya tidak dilakukan secara emosional. Baginya, pengambilan keputusan harus didasarkan pada pendekatan kewilayahan, legalitas, kemanfaatan, dan pola pengelolaan. Dari sisi wilayah, Gurindam 12 jelas berada di Kota Tanjungpinang. Namun secara legalitas, aset tersebut tetap milik Pemerintah Provinsi Kepri karena dibangun menggunakan anggaran provinsi. Kondisi ini menimbulkan dualisme: secara administratif berada di kota, tetapi kendali tetap di tangan provinsi.
Alfan mengingatkan adanya risiko aset terbengkalai seperti yang terjadi pada sejumlah peninggalan Provinsi Riau di Tanjungpinang yang hingga kini tidak jelas status pengelolaannya. Ia menekankan bahwa Gurindam 12 idealnya memberi manfaat kepada tiga pihak sekaligus: Pemerintah Provinsi sebagai pemilik aset, Pemerintah Kota sebagai wilayah administratif, dan masyarakat sebagai penerima manfaat langsung. Yang terpenting, akses publik harus dijamin tanpa tiket masuk maupun pembatasan yang merugikan warga.
Meski begitu, ia menegaskan perlunya pengelolaan profesional. Contoh kegagalan seperti di Melayu Square maupun kawasan reklamasi mangkrak seharusnya menjadi pelajaran. Jika ditata secara modern, Gurindam 12 bisa menjadi destinasi wisata baru yang menghadirkan ruang usaha untuk merek besar sekaligus menyediakan blok khusus bagi UMKM lokal. Dengan demikian, pedagang kecil yang kini berjualan di tepi jalan dapat dipindahkan ke lokasi yang lebih tertata.
Ekonom pembangunan daerah, Syaiful Anwar, menggarisbawahi bahwa masalah utama bukan sekadar perlu atau tidaknya investor, melainkan bagaimana pola kerja sama dirancang. Menurutnya, rencana pelelangan pengelolaan 30 tahun kepada swasta masih bisa diterima, asalkan disertai transparansi, kejelasan pembagian manfaat, serta jaminan akses publik. Ia mengingatkan agar aset publik tidak berubah menjadi ruang eksklusif bagi korporasi besar semata, melainkan tetap berpihak pada kepentingan UMKM dan masyarakat luas.
Kritik juga datang dari kalangan aktivis tata kota yang menilai lemahnya komunikasi antara Pemprov Kepri dan Pemkot Tanjungpinang sebagai sumber persoalan utama. Minimnya koordinasi menyebabkan publik sulit memperoleh informasi jelas mengenai status maupun arah kebijakan Gurindam 12. Hal ini memicu kesalahpahaman, bahkan resistensi masyarakat.
Isu tersebut dibahas dalam sebuah forum diskusi kritis bertajuk Privatisasi Fasum Gurindam 12 Tepi Laut, yang digagas oleh Marwah Anak Negeri Tuah Berbenah Kepulauan Riau. Acara yang berlangsung di Kedai Kopi Bahagia, Kota Tanjungpinang, hari ini menghadirkan berbagai kalangan, Ajarullah Aswad selaku bertindak sebagai penggagas pertemuan tersebut.
Polemik Gurindam 12 pada akhirnya bukan hanya soal aset, tetapi juga menyangkut tata kelola pemerintahan, keadilan bagi masyarakat, dan arah pembangunan Tanjungpinang sebagai ibu kota provinsi. Jika komunikasi antar-pemerintah dapat diperbaiki dan solusi win-win ditemukan, kawasan ini berpeluang menjadi simbol kolaborasi antara provinsi, kota, dan masyarakat dalam membangun ruang publik yang berdaya dan berkelanjutan.”(redaksiSF)