sidikfokusnews.com – Batam – Subdit IV Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Kepri bersama Satgas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) kembali menunjukkan komitmennya dalam memberantas perdagangan orang dan pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) secara non prosedural. Sepanjang Januari hingga Agustus 2025, jajaran Polda Kepri berhasil mengungkap 60 kasus, menyelamatkan 189 korban, serta menetapkan 84 orang tersangka.
Dirreskrimum Polda Kepri, Kombes Pol. Ade Mulyana, S.I.K., menyampaikan bahwa keberhasilan ini merupakan hasil sinergi antara Ditreskrimum, Direktorat Polairud, Polresta Barelang beserta Polsek jajaran, Polresta Tanjungpinang, dan Polres Karimun Polda Kepri.
Sepanjang Januari hingga Agustus 2025, Ditreskrimum Polda Kepri menangani 14 kasus TPPO dan pengiriman PMI nonprosedural dengan 56 korban serta menetapkan 23 tersangka, terdiri dari 10 kasus tahap penyidikan (sidik) dan 4 kasus telah dilimpahkan ke kejaksaan (P-21). Ditpolairud Polda Kepri juga mengungkap 14 kasus dengan 62 korban dan 24 tersangka, terdiri dari 2 kasus sidik dan 12 kasus P-21. Polresta Barelang bersama Polsek jajaran mencatat 27 kasus dengan 59 korban serta 31 tersangka, meliputi 15 kasus sidik dan 12 kasus P-21. Sementara itu, Polresta Tanjungpinang mengungkap 4 kasus dengan 6 korban dan 5 tersangka (1 kasus sidik dan 3 kasus P-21), serta Polres Karimun menangani 1 kasus dengan 6 korban dan 1 tersangka dalam tahap penyidikan.
Dalam dua bulan terakhir, sub gugus tugas penegakan hukum TPPO Ditreskrimum Polda Kepri menangani 5 perkara, menyelamatkan 16 korban, dan menetapkan 8 orang tersangka.
Penguatan penanganan dilakukan dengan membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO Provinsi Kepulauan Riau. Gugus tugas ini dikukuhkan di Aula Wan Seri Beni, Dompak, Tanjungpinang, 21 Juli lalu dan dihadiri oleh Kapolda Kepri Irjen. Pol. Asep Safrudin, S.I.K., M.H., Gubernur Kepri H. Ansar Ahmad, S.E., M.M., Wakapolda Kepri Brigjen. Pol. Dr. Anom Wibowo, S.I.K., M.Si., Forkopimda, serta perwakilan instansi vertikal.
Gubernur Kepri H. Ansar Ahmad menegaskan bahwa TPPO adalah pelanggaran serius terhadap HAM. “Dari data Bareskrim Polri, 7 dari 10 rute perdagangan orang ke luar negeri melewati Batam dan wilayah Kepri,” ujarnya.
Kapolda Kepri menegaskan komitmen penuh dalam pemberantasan TPPO. “Gugus Tugas ini harus menjadi simpul kekuatan bersama. Tidak hanya aparat hukum, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Pencegahan dan penindakan harus berjalan beriringan untuk memutus mata rantai perdagangan orang,” tegas Kapolda Kepri Irjen. Pol. Asep Safrudin, S.I.K., M.H.
Polda Kepri berkomitmen memperkuat penegakan hukum, perlindungan korban, serta memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak terjebak dalam perekrutan ilegal. Sinergi lintas sektor bersama pemerintah daerah, instansi vertikal, dan media akan terus ditingkatkan demi mewujudkan Kepri yang aman dari TPPO, sejalan dengan semangat Polri Presisi dalam melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.”(Nursalim Turatea)
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 63