sidikfokusnews.com – Batam – Wakapolda Kepulauan Riau Brigjen Pol. Dr. Anom Wibowo, S.I.K., M.Si., menghadiri Sarasehan Jurnalis TV se-Sumatera dan HUT IJTI ke-27 sampai 25 di Nongsa Point Marina Resort, Batam, Kamis (21/8).
Acara ini dihadiri Plh. Kabidhumas Polda Kepri, Kadispar Provinsi Kepri Hasan, S.Sos., Kabag Ops Kabinda Kepri Rahayu Margi Pracoyo, S.E., Deputi 6 BP Batam Ariastuty Sirait, Ketua Umum IJTI Herik Kurniawan, Sekjen IJTI Usmar Almarwan, Waketum IJTI Wahyu Triyogo, Anggota Dewan Pers M. Jazuli, serta para undangan lainnya.
Dalam sambutannya, Wakapolda Kepri menegaskan bahwa sarasehan ini bukan sekadar forum pertemuan, melainkan momentum penting untuk memperingati HUT IJTI ke-27.
“Atas nama keluarga besar Polda Kepri, saya menyampaikan selamat ulang tahun kepada IJTI. Semoga semakin kokoh, profesional, dan menjadi garda terdepan menjaga marwah jurnalistik televisi Indonesia,” ucap
Ia menyebut, pers memiliki peran strategis sebagai pilar keempat demokrasi. Jurnalis televisi, kata dia, memikul tanggung jawab besar karena informasi yang disajikan bukan hanya ditonton, tetapi juga dipercaya dan dijadikan dasar keputusan masyarakat.
Wakapoldal Kepri juga mengingatkan bahwa di era digital, kecepatan informasi kerap berbenturan dengan akurasi. Di sinilah peran jurnalis televisi untuk memastikan setiap berita tidak hanya cepat, tetapi juga benar, mendidik, dan menyejukkan.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa bagi Polri, pers adalah mitra strategis. Hubungan ini bukan sekadar formalitas, melainkan sinergi nyata dalam menyampaikan kebijakan dan langkah Polri secara transparan kepada masyarakat.
“Pers juga menjadi mata dan telinga masyarakat. Kritik dari pers adalah vitamin, pengingat, dan penyemangat bagi kami untuk terus berbenah demi pelayanan yang lebih baik,” tegas Wakapolda Kepulauan Riau Brigjen Pol. Dr. Anom Wibowo, S.I.K., M.Si.
Menutup sambutannya, Wakapolda berpesan agar IJTI terus menjunjung tinggi kode etik jurnalistik, menjaga independensi, dan mengutamakan kepentingan masyarakat.
“Di usia ke-27, saya yakin IJTI semakin matang dan solid. Semoga terus berkarya, menjadi organisasi profesi yang membanggakan, serta mitra terpercaya dalam mengawal demokrasi dan menjaga harmoni bangsa,” tutur Wakapolda Kepulauan Riau Brigjen Pol. Dr. Anom Wibowo, S.I.K., M.Si.”(Nursalim Turatea).
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 52