sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.-Fenomena Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) menunjukkan luka struktural yang dalam dalam wajah ketenagakerjaan Indonesia. Di tengah upaya pemerintah memberantas TPPO, kenyataan di lapangan justru memperlihatkan bahwa akar masalahnya bukan sekadar persoalan prosedur dan hukum, melainkan juga kondisi ekonomi, ketimpangan pembangunan, dan absennya perlindungan sosial yang menyeluruh bagi rakyat miskin dan penganggur.
TPPO sendiri adalah kejahatan lintas negara yang sangat kompleks. Modusnya bisa berupa perekrutan dengan iming-iming pekerjaan bergaji besar, tetapi pada kenyataannya berujung pada eksploitasi, kerja paksa, perbudakan modern, hingga kekerasan seksual. Banyak korban berasal dari kalangan rentan: perempuan, anak muda, dan mereka yang tidak memiliki akses informasi dan perlindungan hukum.
Hubungannya dengan PMI begitu erat. PMI yang berangkat secara nonprosedural—karena tekanan ekonomi, ketidaktersediaan pekerjaan, atau bujukan calo—adalah kelompok paling rentan menjadi korban perdagangan orang. Mereka tidak hanya kehilangan hak-haknya sebagai pekerja, tetapi juga kerap kehilangan martabat dan nyawa.
Sementara itu, narasi negara sering kali terjebak pada pendekatan hukum semata: melarang, menindak, menertibkan. Tetapi pertanyaan yang terus menggema dari berbagai kalangan adalah: di mana kehadiran negara ketika rakyat tidak punya pilihan hidup yang layak?
Di berbagai wilayah Indonesia, pengangguran masih menjadi persoalan serius. Data BPS menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka tetap tinggi, terutama di daerah-daerah yang minim infrastruktur dan investasi padat karya. Situasi ini semakin diperparah oleh tingginya angka pekerja informal, rendahnya upah minimum, serta minimnya akses terhadap pelatihan vokasi dan pendidikan teknis.
Dalam konteks ini, migrasi kerja ke luar negeri tidak bisa dilihat sebagai pelanggaran, tetapi lebih sebagai bentuk perlawanan terhadap kemiskinan. Bekerja di luar negeri, meski berisiko tinggi, menjadi pilihan rasional ketika peluang hidup di dalam negeri nyaris nihil.
Dr. Bambang Hermawan, pengamat ketenagakerjaan dari LIPI, menegaskan bahwa negara tidak bisa hanya menekankan pada aspek legalitas penempatan. Menurutnya, migrasi nonprosedural adalah manifestasi dari ketimpangan ekonomi dan ketidakberdayaan sistem sosial.
“Kalau negara hanya hadir untuk melarang, tapi tidak menyediakan pekerjaan, pendidikan, dan sistem sosial yang adil, maka larangan itu menjadi tidak etis. Karena rakyat hanya mencari cara untuk bertahan hidup,” katanya.
Ekonom Faisal Basri juga menyentil negara yang gagal mendistribusikan kekayaan secara adil. Menurutnya, kemiskinan di Indonesia bukan karena negara miskin, melainkan karena salah urus.
“Kekayaan ada, sumber daya melimpah. Tapi distribusinya buruk. Yang kaya makin kaya, yang miskin semakin terpinggirkan,” ujarnya.
Ironisnya, para PMI yang seringkali dicap ‘nonprosedural’ justru menyumbang devisa ratusan triliun rupiah setiap tahun bagi negara. Bank Indonesia mencatat bahwa remitansi PMI mencapai lebih dari Rp150 triliun—kontribusi yang jauh lebih besar dibandingkan beberapa sektor unggulan. Namun penghargaan terhadap kontribusi mereka masih sangat minim. Perlindungan negara terhadap mereka pun acap kali bersifat reaktif dan administratif.
Wahyu Susilo dari Migrant CARE menyebut bahwa pendekatan pemerintah terhadap PMI dan TPPO masih bersifat ambigu dan elitis. Negara lebih fokus pada penegakan hukum, tetapi belum menjawab akar masalah sosial dan ekonomi yang mendorong migrasi berisiko tinggi itu terjadi.
“Selama akses terhadap kerja layak dan perlindungan tidak diperkuat, maka perdagangan orang akan terus terjadi. Gugus tugas tidak boleh jadi basa-basi,” ujar Wahyu.
Yang dibutuhkan hari ini adalah strategi menyeluruh: memperkuat sistem perlindungan sosial, memperluas pelatihan keterampilan kerja berbasis kebutuhan industri global, membuka akses migrasi yang aman dan legal, serta menjamin bahwa investasi yang masuk benar-benar menciptakan lapangan kerja bagi warga lokal.
Pemerintah pusat maupun daerah harus keluar dari zona nyaman retorika birokrasi dan mulai mendengarkan suara warga yang bekerja di luar negeri bukan karena ambisi, melainkan karena desakan perut dan anak-anak yang harus makan.
Said Ahmad Sukry, pemerhati lokal, “Larangan tanpa solusi sama dengan menutup pintu harapan. Negara harus hadir bukan sebagai polisi, tapi sebagai pelayan dan pemberi jalan keluar. Kalau rakyat tidak bisa makan di negeri sendiri, jangan salahkan mereka jika mereka pergi.”
Saat ini, langkah paling mendesak adalah memperkuat edukasi hukum dan sosial di daerah-daerah kantong migran, menindak tegas sindikat perekrutan ilegal, dan membuka ruang kolaborasi antara pemerintah, LSM, dan masyarakat sipil untuk membangun sistem migrasi aman, legal, dan manusiawi.
Negara tidak boleh lagi berdiri di belakang rakyat, tetapi harus berdiri di depan—memberi perlindungan, mempermudah akses, dan menciptakan ekosistem kerja yang menjamin keselamatan dan kesejahteraan semua warga negara, baik di dalam maupun luar negeri.
Tanpa langkah nyata, mimpi tentang Indonesia sebagai negara yang adil dan sejahtera hanya akan tinggal janji, sementara rakyat terus terjebak dalam siklus kemiskinan, migrasi paksa, dan eksploitasi lintas batas.”(Arf)