sidikfokusnews.com.Batam — Polemik pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak di PT Allbets Marine telah memasuki tahap yang bukan hanya sensitif secara industrial, tetapi juga krusial bagi penegakan hukum ketenagakerjaan di Batam. Kasus yang menimpa Paizal—seorang pekerja lokal yang diberhentikan mendadak dengan tuduhan pelanggaran berat—menjadi cermin betapa rapuhnya perlindungan hukum pekerja ketika otoritas perusahaan dijalankan tanpa akuntabilitas.
Kasus ini dimulai dari percakapan WhatsApp awal Oktober 2025 antara Paizal dan kerabatnya, Fajar asal Bintan, yang menanyakan peluang pekerjaan. Paizal kemudian menghubungkannya dengan atasannya, Ferhat, yang dikenal luas punya jaringan di sektor industri galangan. Pada tahap ini, tidak ada janji penerimaan kerja dan tidak ada pernyataan terkait PT Allbets Marine. Namun dalam percakapan lanjutan, Ferhat meminta nomor rekening Paizal untuk “keperluan CV dan hal-hal lain di Batam.” Fajar kemudian mengirim uang Rp500.000 pada 5 Oktober 2025—transfer yang diakui Fajar sebagai permintaan Ferhat, bukan Paizal.
Kebuntuan bermula ketika seorang karyawan internal bernama Atmos melaporkan adanya transfer tersebut ke HRD perusahaan, tanpa pernah melakukan verifikasi ke Ferhat. Padahal justru Ferhat merupakan pihak yang diduga meminta dana tersebut. Informasi sepihak ini langsung menjadi dasar interogasi dan pemanggilan Paizal ke kantor pada 10 Oktober 2025—tanpa surat resmi, tanpa prosedur formal, tetapi dengan ancaman pidana.
Tindakan ini menyulut pertanyaan serius mengenai standar audit internal PT Allbets Marine. Tidak ada bukti janji pekerjaan, tidak ada jejak rekrutmen yang mengaitkan Paizal dengan praktik pungutan liar, dan sampai hari pemanggilan, tidak ada dokumen yang menunjukkan bahwa Fajar telah diarahkan masuk ke PT Allbets Marine.
Namun meski tanpa pembuktian, perusahaan memilih langkah ekstrem: tepat pada 17 Oktober 2025, HRD Khilifatul Hanifah menyerahkan Surat PHK kepada Paizal dengan alasan “pelanggaran berat.” Surat itu diberikan di ruang pertemuan lantai dua, disaksikan delapan orang termasuk dua ekspatriat India—sebuah setting yang oleh pengamat dinilai lebih menyerupai “persidangan internal” daripada proses administrasi kepegawaian.
“Kalau saya menjanjikan pekerjaan, di mana buktinya Fajar diterima di perusahaan ini? Kalau tidak ada, berarti ini fitnah dan penyalahgunaan kewenangan,” ujar Paizal saat konfirmasi.
Tidak ada Peraturan Perusahaan yang ditunjukkan. Tidak ada Perjanjian Kerja yang dijadikan dasar. Tidak ada berita acara pemeriksaan formal. Semua hanya bertumpu pada satu slip transfer dan asumsi sepihak—praktik yang menurut ahli hukum disebut sebagai penyimpangan fatal terhadap asas due process of law.
Keadaan berubah ketika Paizal melaporkan kasus ini secara resmi ke Bidang Pengawasan Disnaker Provinsi Kepri (Binwas) pada 20 Oktober 2025. Barulah perusahaan membuka ruang mediasi pada 31 Oktober. Di situ Paizal menunjukkan iktikad baik—bersedia kembali bekerja tanpa menuntut kompensasi. Tapi Direktur Ronald tetap menolak dengan alasan klasik: hilangnya kepercayaan. Bahkan Paizal diminta membuat surat kuasa hanya karena hadir didampingi pendamping.
Menurut seorang ahli ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, PHK yang dilakukan PT Allbets Marine sudah jelas melanggar UU Ketenagakerjaan.
“PHK itu proses hukum, bukan keputusan spontan. Wajib ada pembinaan, SP bertahap, pemanggilan resmi, dan perundingan bipartit sebelum keputusan final. Semua dilewati. Ini bukan sekadar kesalahan administratif, tapi pelanggaran normatif,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa transfer Rp500 ribu tidak bisa dijadikan dasar pelanggaran berat.
“Untuk pelanggaran berat, ada unsur: niat, bukti konkret, dan kerugian bagi perusahaan. Tidak satu pun terpenuhi. Dengan demikian tuduhan pelanggaran berat tidak berdiri secara hukum.”
Sementara itu, seorang ahli pidana memperingatkan bahwa ancaman pemidanaan terhadap peristiwa yang tidak memenuhi unsur tindak pidana dapat masuk kategori kriminalisasi.
“Mengancam akan memenjarakan seseorang tanpa dasar delik adalah bentuk intimidasi dan penyalahgunaan relasi kuasa. Jika uang itu bukan pungutan, bukan suap, dan tidak ada janji jabatan, tidak ada tindak pidana,” jelasnya.
Pengamat hubungan industrial melihat kasus Paizal sebagai representasi nyata ketimpangan relasi kerja antara tenaga lokal dan perusahaan asing di Batam.
“Dengan dalih ‘pelanggaran berat’ perusahaan bisa menghapus mata pencaharian seseorang dalam hitungan hari tanpa bukti dan tanpa hak pembelaan. Ini bukan soal uang, ini soal mentalitas impunitas korporasi di wilayah industri.”
Kini Paizal menyiapkan langkah hukum lanjutan. Jika ruang bipartit ditutup, kasus ini akan didaftarkan ke Disnaker Batam dan berlanjut ke Pengadilan Hubungan Industrial. Selain itu, kemungkinan langkah pidana balik dan gugatan perdata untuk memulihkan nama baik juga tidak tertutup.
Publik kini menanti: apakah PT Allbets Marine akan menunjukkan transparansi, membuka dokumen resmi, dan mengikuti mekanisme penyelesaian perselisihan yang sah? Ataukah memilih jalur yang justru memperlebar konflik dan merusak reputasi perusahaan di mata hukum dan masyarakat?
Yang semakin jelas, kasus ini bukan lagi sekadar sengketa internal. Ia telah menjadi simbol perlawanan terhadap praktik sewenang-wenang yang selama ini senyap dalam tubuh industri Batam.
Hingga berita ini diturunkan, upaya konfirmasi wartawan melalui WhatsApp dan panggilan telepon kepada pihak HRD PT Allbets Marine tidak mendapatkan respons. Permintaan klarifikasi tetap terbuka sebagai bagian dari komitmen redaksi terhadap asas keberimbangan.
[Tim]

















