banner 728x250

Perjanjian Dagang, Kedaulatan Data, dan Luka Psikologis Bangsa: Indonesia dalam Cermin Kritik Global

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Jakarta.— Sorotan tajam terhadap praktik perjanjian dagang internasional dan pengelolaan data di Indonesia semakin menguat dalam beberapa waktu terakhir. Tidak hanya datang dari dalam negeri, kritik juga menggema di ruang-ruang diskusi internasional, menyangkut bagaimana Indonesia memposisikan diri di tengah ekosistem global yang semakin terkoneksi, namun juga semakin timpang secara struktural.

banner 325x300

Tulisan reflektif Agus Muhammad Maksum berjudul “Merespon Pokok-Pokok Masalah soal Perjanjian Dagang, Data, dan Minderwaardigheidscomplex” membuka ruang renung yang lebih dalam bagi publik. Ia menyajikan sebuah kritik yang tidak sekadar menyerang struktur perjanjian, tapi juga menelanjangi mentalitas bangsa yang, menurutnya, terlalu lama larut dalam inferioritas terhadap kekuatan global. Dari negosiasi dagang yang penuh tekanan asimetris, hingga kerapuhan sistem data nasional yang terlalu bergantung pada teknologi asing—semua diuraikan dengan bahasa yang lugas, namun reflektif.

Masalah fundamental yang disorot Maksum adalah tidak adanya kesetaraan dalam berbagai perjanjian dagang antara Indonesia dan kekuatan ekonomi besar seperti Amerika Serikat. Dalam praktiknya, perjanjian semacam ini seringkali menyelipkan klausul-klausul tambahan yang menyeret Indonesia ke dalam pengakuan sepihak terhadap regulasi luar, termasuk hak kekayaan intelektual, aturan digital, hingga mekanisme penyelesaian sengketa yang menguntungkan pihak kuat. Sejumlah pakar perdagangan internasional seperti Deborah Elms, Direktur Eksekutif Asian Trade Centre, menyebut praktik seperti ini sebagai regulatory overreach—sebuah fenomena ketika negara maju menggunakan kekuatan dagang untuk mengekspor sistem hukumnya ke negara berkembang tanpa perimbangan yang adil.

Dari sudut pandang data dan kedaulatan digital, narasi bahwa “negara menyerahkan data ke asing” dianggap menyesatkan. Yang terjadi, sebagaimana dijelaskan Maksum, adalah masuknya perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Meta, hingga Amazon Web Services (AWS) secara legal dalam struktur digital Indonesia. Akses ini bukan hasil barter antarnegara, tetapi konsekuensi dari konsumsi digital warga Indonesia sendiri yang tanpa sadar menyetor data pribadi ke dalam ekosistem global.

Namun, penyebab utamanya tetap sistemik. Menurut Edward Snowden, mantan analis intelijen AS yang kini dikenal sebagai pengkritik besar terhadap surveillance digital, negara-negara yang tidak mengembangkan infrastruktur datanya sendiri akan selalu menjadi objek pemantauan dan eksploitasi informasi oleh negara yang lebih unggul secara teknologi. Hal serupa ditegaskan oleh Shoshana Zuboff, akademisi Harvard dan penulis The Age of Surveillance Capitalism, bahwa dalam dunia digital saat ini, ketidakberdayaan negara berkembang dalam mengatur arsitektur data hanya akan memperkuat dominasi perusahaan transnasional dalam mengekstraksi nilai ekonomi dan politik dari informasi pribadi rakyat negara lain.

Indonesia, dalam konteks ini, belum memiliki daya tahan struktural. Server nasional terbatas, SDM teknologi masih timpang, dan sistem informasi negara bahkan kerap dibangun oleh perusahaan asing. Situasi ini menjadi celah yang terus dimanfaatkan oleh aktor luar untuk masuk lebih dalam—bukan hanya dalam bentuk kerja sama dagang, tapi juga dalam penguasaan infrastruktur digital yang bersifat strategis.

Masalah kebocoran data menjadi bab lain yang mempermalukan narasi “data aman di tangan negara.” Kebocoran data Dukcapil, pemilih pemilu, bahkan sistem pajak, memperlihatkan celah keamanan siber yang sangat rentan. Ironisnya, ketika serangan siber terjadi, tidak jarang sistem pemulihan pun bergantung pada pihak ketiga luar negeri, yang justru menunjukkan kerapuhan otonomi digital nasional. Dr. Ronald Deibert, Direktur Citizen Lab di Universitas Toronto, menyebut bahwa “sovereign control over data” tidak bisa ditegakkan selama fondasi keamanan digital dan kemandirian teknologi suatu negara masih dikuasai oleh pihak eksternal.

Dalam diskursus yang lebih luas, isu yang dibawa oleh Maksum tidak sekadar menyentuh aspek teknis, tetapi menyentuh titik paling sensitif dalam psikologi kebangsaan: minderwaardigheidscomplex—istilah Belanda untuk menggambarkan kompleks rasa rendah diri. Menurut pengamat hubungan internasional dari National University of Singapore, Dr. Farish A. Noor, ini adalah warisan psikologis dari era kolonial yang belum sepenuhnya dibereskan oleh negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ia menyebut bahwa banyak negara masih mengalami “postcolonial performance anxiety,” yaitu kecemasan untuk tampil percaya diri di forum global karena bayang-bayang masa lalu yang membentuk persepsi bahwa Barat selalu lebih benar, lebih unggul, lebih kuat.

Inilah yang menurut Maksum menjadi akar dari sikap Indonesia yang terlalu sering berterima kasih sebelum menimbang. Mentalitas seperti ini membuat Indonesia lebih sering menjadi penerima pasif ketimbang negosiator aktif, bahkan ketika yang ditawarkan hanyalah “bantuan teknis” atau “hibah digital” dengan syarat yang berat di belakang. Di saat negara-negara seperti India dengan lantang menolak aturan WTO yang merugikan petani lokal, atau saat Vietnam berani meminta revisi atas klausul digital dalam perjanjian RCEP, Indonesia masih berkutat pada keraguan dan kekhawatiran “menyinggung mitra.”

Maksum mengajak pembaca untuk keluar dari jebakan retorika usang “kita negara berkembang, jadi harus kompromi.” Dunia sudah berubah, dan negara-negara berkembang pun mulai menunjukkan kemandirian. Yang dibutuhkan Indonesia bukan hanya keberanian untuk berkata “tidak” dalam negosiasi, tapi juga kepercayaan diri untuk membangun struktur teknologi dan kebijakan secara mandiri.

Refleksi ini seharusnya menjadi pemicu kebangkitan, bukan sekadar kekecewaan. Sebab kedaulatan—baik dalam perdagangan, data, maupun arah kebijakan luar negeri—tidak akan pernah diberikan oleh pihak luar. Ia harus direbut, dirancang, dan ditegakkan oleh bangsa yang sadar akan nilainya sendiri.

Pertanyaannya kini jelas: Apakah Indonesia siap menegaskan kedaulatannya, atau terus menjadi halaman belakang dari percaturan global? Jawabannya tidak bisa ditunda. Sebab di era digital ini, siapa yang tidak mengendalikan datanya sendiri, akan dikendalikan oleh data milik orang lain.”(Arf)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *