sidikfokusnews.com – Jakarta. — Perbincangan mengenai posisi dan peran Kementerian Agama (Kemenag) dalam tata kelola kehidupan beragama di Indonesia kembali mengemuka. Berawal dari diskusi ringan di antara sejumlah tokoh dan pemerhati isu keagamaan, muncul pertanyaan mendasar: apa sesungguhnya yang masih menjadi tugas pokok Kementerian Agama di tengah banyaknya kewenangan yang kini ditangani oleh lembaga lain?
Saat ini, pengelolaan berbagai urusan keagamaan telah tersebar ke sejumlah lembaga negara. Penyelenggaraan ibadah haji, misalnya, diatur oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), sedangkan keuangan haji juga menjadi domain lembaga tersebut. Penyelesaian perkara peradilan agama (PA) menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA). Urusan zakat dipercayakan kepada Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), wakaf dikelola oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI), sementara sertifikasi halal berada di tangan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Belakangan bahkan muncul wacana bahwa urusan madrasah hendak dialihkan ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), serta urusan pencatatan pernikahan akan diserahkan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil). Melihat peta ini, tidak sedikit yang mempertanyakan, lantas apa lagi sebenarnya yang masih akan diurus oleh Kementerian Agama?
Namun demikian, Kemenag dinilai tetap memiliki posisi strategis dan tugas yang sangat fundamental. Secara keseluruhan, Kemenag berperan penting menjaga kerukunan antarumat beragama, membina kehidupan beragama yang sehat, serta memastikan terselenggaranya layanan keagamaan yang adil dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Hal ini selaras dengan tugas pokok Kemenag sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama untuk membantu Presiden dalam menjalankan pemerintahan negara.
Fungsi Kemenag meliputi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang bimbingan masyarakat lintas agama — Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Selain itu, Kemenag juga menyelenggarakan pendidikan agama dan keagamaan, termasuk pengelolaan ibadah haji dan umrah, pendidikan madrasah, pelaksanaan jaminan produk halal, penelitian dan pengembangan keagamaan, hingga pengelolaan barang milik negara yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Dalam konteks urusan kerukunan umat beragama, memang benar bahwa tugas ini secara operasional merupakan tanggung jawab bersama antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kepolisian RI, serta pemerintah daerah. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 yang mengatur pendirian rumah ibadah. Karena itu, pemeliharaan kerukunan umat beragama sejatinya bukan hanya tanggung jawab Kemenag, tetapi melibatkan banyak pihak lintas institusi.
Meski demikian, Kementerian Agama tetap memegang peran kunci, setidaknya melalui Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) yang ada di lingkungan Kemenag pusat. Namun, PKUB bukan lembaga operasional, melainkan lebih bersifat kebijakan dan koordinasi. Justru secara operasional, pemeliharaan kerukunan antarumat beragama lebih banyak telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah, yang dibuktikan dengan keberadaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah daerah, bukan oleh Kemenag.
Diskusi berkembang lebih jauh, bahwa Kementerian Agama sepatutnya memiliki peta data yang jelas mengenai aliran keagamaan, baik yang lurus maupun sempalan, pada setiap agama yang dinaunginya. Data ini menjadi penting dalam rangka menjaga stabilitas sosial dan keamanan serta memberikan pelayanan keagamaan yang tepat sasaran. Selain itu, terdapat pandangan bahwa pengelolaan rumah ibadah pun seharusnya lebih terstruktur dan melibatkan Kemenag secara administratif dan pembiayaan. Jika Kemenag memegang tanggung jawab tersebut secara penuh, termasuk dalam perawatan rumah ibadah, maka anggaran negara pun bisa diarahkan untuk membantu perbaikan rumah ibadah yang rusak.
Isu ini semakin relevan karena dalam praktiknya, Kemenag kerap menjadi tempat konsultasi syariah, baik bagi umat maupun bagi lembaga-lembaga lain yang membutuhkan pendapat terkait hukum agama. Selain itu, Kemenag juga menangani penentuan arah kiblat, validasi waktu salat, penetapan hari besar keagamaan, hingga pengawasan terhadap aliran keagamaan yang menyimpang.
Meski demikian, sebagian kalangan menilai tugas-tugas tersebut tidak dapat dipandang sebelah mata. Kemenag bukan hanya rumah besar bagi umat Islam, tetapi juga lembaga pemerintah yang memayungi seluruh agama yang diakui negara. Kementerian ini memiliki tanggung jawab moral dan administratif dalam menjaga keberlangsungan kehidupan beragama yang harmonis di tengah keberagaman Indonesia.
Diskusi ini mencerminkan bahwa meski sebagian urusan keagamaan kini telah tersebar di berbagai lembaga, Kementerian Agama tetap memiliki fungsi strategis yang tidak dapat digantikan. Fungsi pembinaan umat, menjaga kerukunan, membina pendidikan agama, mengawasi penyimpangan aliran, hingga mendukung fasilitas ibadah, tetap menjadi ladang pengabdian yang relevan bagi eksistensi Kemenag dalam sistem pemerintahan dan masyarakat Indonesia.
Dalam konteks negara yang majemuk seperti Indonesia, Kemenag justru semakin dituntut hadir dengan peran yang kuat dan efektif, bukan sekadar simbol birokrasi, tetapi menjadi pelayan masyarakat yang sesungguhnya dalam mewujudkan kehidupan beragama yang damai, rukun, dan produktif.”(Nursalim Turatea).