sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.– Pulau Penyengat, ikon sejarah dan pusat peradaban Melayu-Islam di Kepulauan Riau, kembali menjadi sorotan. Bukan karena kemegahan Masjid Raya Sultan Riau atau kekayaan manuskrip Raja Ali Haji, melainkan karena gelaran Penyengat Heritage Fest yang menuai kritik tajam dari kalangan pengamat budaya.
Festival yang digadang-gadang untuk merayakan warisan sejarah itu dinilai semakin kehilangan makna aslinya. Alih-alih menghadirkan nilai literasi, religiusitas, dan kebudayaan Melayu-Islam yang selama ini menjadi jantung Penyengat, acara tersebut justru lebih terasa seperti panggung seremonial pejabat dan hiburan massal.
Tokoh muda penyengat, Said Akhmad Sukry, menilai penggunaan kata heritage dalam festival tersebut seharusnya memuat tanggung jawab moral untuk menghidupkan kembali tradisi luhur yang diwariskan berabad-abad. Menurutnya, ada tiga persoalan mendasar yang membuat festival itu jauh dari esensi warisan.
“Pertama, identitas Penyengat seolah dihapuskan. Pulau ini bukan ruang kosong yang bisa diisi dengan konsep hiburan semata. Ini tanah bersejarah, tempat manuskrip kuno, syair-syair Raja Ali Haji, dan nilai-nilai Islam Melayu tumbuh. Kalau hanya panggung musik modern yang ditonjolkan, makna sejarahnya hilang,” tegas Sukry.
Kritik kedua, lanjutnya, adalah soal posisi masyarakat setempat. Warga Penyengat sering kali hanya dilibatkan sebagai penonton atau pelengkap acara, bukan sebagai penentu konsep. “Padahal warisan ini lahir dari tangan mereka. Mereka yang seharusnya menjadi subjek utama, bukan sekadar dekorasi,” ujarnya.
Sukry juga menyoroti menjauhnya festival dari kearifan lokal. Ia menilai, tradisi Penyengat identik dengan zikir, marhaban, syair, serta pengajian kitab-kitab kuno. Namun semua itu kerap tersisih oleh format seremonial yang lebih berorientasi pada citra dan popularitas.
Ia menegaskan, jika pemerintah serius ingin merayakan warisan Penyengat, konsep festival seharusnya berporos pada nilai inti sejarah dan budaya. Agenda seperti ziarah sejarah, pameran manuskrip kuno, pembacaan syair Raja Ali Haji, hingga lokakarya aksara Jawi dan kaligrafi Islam-Melayu dinilai jauh lebih relevan ketimbang konser hiburan semata.
“Festival seharusnya menjadi ruang literasi, dakwah, dan kebangkitan budaya. Masyarakat lokal mesti diberi peran sentral, dilatih, dan diberdayakan. Bukan hanya menonton, tetapi ikut menentukan isi acara. Itulah makna sejati heritage,” pungkasnya.
Kritik ini memicu perdebatan baru soal arah pengelolaan warisan budaya di Kepulauan Riau. Apakah Penyengat akan tetap menjadi pusat peradaban Melayu-Islam atau sekadar panggung seremonial tahunan—jawabannya kini ada di tangan pemerintah daerah dan para pemangku kebijakan.”(arf-6)