sidikfokusnews.com-Jakarta.— Rencana investasi di Pulau Rempang, Batam, kembali menjadi sorotan publik setelah Menteri Transmigrasi M. Iftitah Sulaiman Suryanagara menyatakan bahwa sebagian dari proyek tersebut akan ditunda. Penundaan ini, kata Iftitah, bersifat terbatas dan hanya berlaku untuk kawasan Sembulang, salah satu wilayah yang masih mengalami penolakan dari masyarakat lokal.
“Yang diusulkan untuk ditunda bukanlah seluruh rencana investasi di wilayah Rempang, melainkan hanya di area tertentu yang saat ini masih terdapat resistensi masyarakat, yaitu di kawasan Sembulang,” ujar Iftitah dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (30/7/2025).
Penundaan ini, menurutnya, merupakan langkah preventif dan responsif dalam menghadapi dinamika sosial yang berkembang. Pemerintah ingin memastikan bahwa proses pembangunan tidak menjadi pemicu konflik horizontal maupun ketegangan antara masyarakat dengan negara. Prinsip partisipatif dan penghormatan terhadap hak-hak warga menjadi titik tekan kebijakan ini.
Dalam rencana besar pemerintah, Pulau Rempang dan Pulau Galang menjadi bagian dari pengembangan kawasan strategis nasional (PSN). Proyek ini diharapkan dapat menyerap ribuan tenaga kerja, mendorong alih teknologi, serta menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah perbatasan. Namun, narasi kemajuan itu belum sepenuhnya meyakinkan masyarakat adat dan warga setempat yang telah bermukim secara turun-temurun.
Kementerian Transmigrasi mengusulkan solusi berupa transmigrasi lokal — pemindahan sukarela warga terdampak ke kawasan Tanjung Banon. Iftitah menegaskan bahwa program ini dijalankan tanpa paksaan, dengan pendekatan humanis. Namun, banyak pihak menggarisbawahi bahwa persoalan relokasi bukan hanya soal teknis atau kompensasi, melainkan menyangkut identitas kultural dan hubungan historis masyarakat dengan tanahnya.
Ahli sosiologi dari Universitas Indonesia, Dr. Safrul Anwar, menilai langkah pemerintah merupakan kompromi yang rasional, tetapi tidak cukup jika tidak disertai transparansi data dan perlindungan terhadap nilai-nilai lokal. “Investasi tak boleh berdiri di atas pengabaian. Kalau hanya menunda tanpa memperbaiki metode pendekatannya, masalah sosial hanya akan ditunda, bukan diatasi,” katanya.
Di sisi lain, pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Rina Wibowo, menekankan pentingnya audit sosial terhadap setiap proyek strategis nasional. “Pemerintah harus membuka akses informasi kepada publik, termasuk dokumen AMDAL, skema relokasi, hingga hak-hak pasca-transmigrasi. Tanpa itu, kita hanya mengulang model pembangunan eksklusif yang tidak inklusif,” jelasnya.
Sementara itu, sejumlah tokoh masyarakat Rempang berharap program pengembangan tidak menjadi simbolisasi pembangunan yang mengabaikan realitas lapangan. Mereka meminta agar proses perencanaan dilakukan secara dialogis, bukan monologis. “Kearifan lokal itu bukan sekadar ornamen, tetapi fondasi. Jangan sampai proyek nasional justru menghapus jejak sejarah lokal,” ujar salah satu tokoh Sembulang.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Transmigrasi berkomitmen untuk terus berkoordinasi dengan BP Batam, Pemko Batam, serta kementerian dan lembaga terkait. Semua pihak diundang untuk memberikan masukan demi memastikan bahwa investasi ini tidak menjadi proyek yang ‘dibangun di atas luka’.
Harapan besarnya adalah agar proyek ini benar-benar menjadi ruang tumbuh bagi kesejahteraan rakyat, bukan hanya panggung bagi seremoni peresmian. Pelajaran dari berbagai proyek strategis sebelumnya menunjukkan bahwa kegagalan memahami konteks sosial-budaya kerap berujung pada kegagalan implementasi.
Dengan penundaan ini, bola kini ada di tangan pemerintah: apakah akan membuka lembar baru yang lebih inklusif dan adil, atau sekadar memperpanjang jeda sebelum riak sosial kembali menguat?.”(Arf)
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 122