sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.-Pemerintah Kota Tanjungpinang tengah melaksanakan rencana strategis penggabungan dua sekolah negeri, yakni SMP Negeri 3 dan SMP Negeri 7, sebagai bagian dari upaya efisiensi pengelolaan pendidikan sekaligus pemerataan mutu layanan. Namun, di tengah pelaksanaan kebijakan tersebut, muncul pertanyaan besar: bagaimana nasib para guru yang terdampak? Dan sejauh mana perlindungan terhadap kesejahteraan dan profesionalitas mereka dijamin oleh kebijakan ini?
Wali Kota Tanjungpinang H. Lis Darmansyah, S.H., bersama Kepala Dinas Pendidikan Teguh Ahmad, turun langsung meninjau fasilitas di SMP Negeri 7 Tanjungpinang Timur yang akan menjadi lokasi pusat integrasi. Dalam kunjungan tersebut, rombongan pemerintah kota memeriksa kondisi ruang kelas, sarana penunjang, serta kesiapan teknis yang mendukung kelancaran proses penggabungan sekolah.
Menurut Teguh Ahmad, keputusan ini merupakan langkah responsif atas berbagai dinamika di lapangan, seperti ketimpangan rasio siswa, penggunaan ruang kelas yang belum optimal, serta upaya untuk meningkatkan efektivitas distribusi guru. “Kebijakan ini sejalan dengan arah pembangunan pendidikan nasional yang tidak hanya menekankan pada efisiensi struktural, tetapi juga peningkatan mutu,” jelasnya.
Namun, di balik semangat efisiensi dan peningkatan mutu pendidikan tersebut, ada kenyataan yang tak dapat diabaikan: para guru, terutama mereka yang berstatus honorer dan non-ASN, kini berada dalam kondisi ketidakpastian. Penggabungan sekolah pada dasarnya menata ulang struktur kelembagaan, termasuk distribusi tenaga pendidik. Jumlah kelas yang berkurang secara otomatis dapat berdampak pada kelebihan guru untuk mata pelajaran tertentu.
“Penggabungan sekolah bisa menimbulkan efek domino. Guru menjadi korban pertama jika tidak ada kebijakan proteksi yang tegas dari pemerintah daerah, terutama bagi guru honorer yang posisinya sangat rentan,” ungkap Dr. Sutarno, M.Pd., pakar manajemen pendidikan dari Universitas Negeri Semarang. Ia menekankan bahwa pemetaan kebutuhan guru harus dilakukan secara komprehensif dan berbasis data agar tidak menimbulkan ‘pengangguran fungsional’ dalam dunia pendidikan.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ketidakpastian ini bukan sekadar asumsi. Lilis Maryati, S.Pd., seorang guru honorer yang pernah mengalami situasi serupa di kabupaten lain, menceritakan bahwa pasca merger, ia tidak lagi mendapatkan jam mengajar karena sekolah hasil penggabungan telah memiliki kelebihan guru. “Saya hanya diberi pemberitahuan bahwa posisi saya belum dibutuhkan di sekolah baru. Sampai sekarang belum ada kepastian,” katanya.
Kondisi semacam ini menciptakan kekhawatiran yang mendalam. Para guru, yang sejatinya adalah pelaku utama dalam proses pendidikan, merasa terpinggirkan dalam kebijakan struktural yang seharusnya melibatkan mereka sebagai mitra strategis.
Penyesuaian yang Tak Mudah, selain penataan ulang dan persoalan status kepegawaian, para guru juga dihadapkan pada tantangan adaptasi dengan sistem dan kultur baru di sekolah hasil penggabungan. Perbedaan gaya kepemimpinan, penggunaan kurikulum, serta sarana dan prasarana memerlukan penyesuaian cepat yang tidak semua guru siap hadapi.
Menurut Dr. Lilis Rachmawati, Ed.D., peneliti kurikulum dari UPI Bandung, proses merger perlu diikuti dengan reorientasi sekolah dan pelatihan transisi bagi guru. “Guru bukan hanya menghadapi perubahan tempat kerja, tapi juga suasana dan tanggung jawab baru. Tanpa pelatihan dan pendampingan, mereka bisa kehilangan arah dan motivasi,” tegasnya.
Kebijakan yang Butuh Keadilan dan Kejelasan
Dalam konteks ini, pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan perlu bertindak lebih dari sekadar memastikan kelengkapan fisik dan administratif. Mereka perlu menyediakan sistem transisi yang adil, transparan, dan berpihak pada keberlanjutan profesi guru. Hal ini termasuk audit kebutuhan guru secara detail, skema relokasi, jaminan status kerja—terutama bagi guru honorer—dan pelibatan organisasi profesi dalam proses sosialisasi.
Penggabungan sekolah seharusnya tidak menjadi ajang efisiensi belaka yang mengabaikan aspek kemanusiaan. Jika tidak dikelola dengan cermat, kebijakan ini justru bisa memperdalam luka sosial di dunia pendidikan dan merusak iklim kerja di sekolah-sekolah.
Langkah Proaktif Guru dan Dukungan Komunitas,di tengah ketidakpastian ini, guru juga perlu mengambil langkah proaktif. Memahami kebijakan merger secara utuh, membangun komunikasi dengan pemangku kepentingan, serta terus meningkatkan kompetensi diri menjadi kunci untuk tetap relevan dalam dinamika baru. Bergabung dengan organisasi profesi seperti PGRI atau forum-forum guru daerah juga dapat memperkuat advokasi atas hak-hak mereka.
Di sisi lain, komunitas pendidikan, termasuk orang tua siswa, perlu terlibat aktif dalam mendampingi proses transisi ini. Kepastian bukan hanya dibutuhkan oleh guru, tapi juga oleh siswa yang akan beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru.
Merger sekolah, dalam kerangka kebijakan, memang dapat menjadi jalan menuju efisiensi dan peningkatan mutu. Namun pendidikan bukan sekadar persoalan struktur dan angka. Ia adalah soal nilai, relasi sosial, dan keberlangsungan hidup manusia.
“Jika merger dilakukan demi efisiensi, maka pendidikan hanya akan jadi proyek. Tapi jika dilakukan dengan memperhatikan kesejahteraan guru, maka merger bisa jadi jalan pembaruan,” pungkas Dr. Sutarno.
Untuk itu, pemerintah kota Tanjungpinang perlu memastikan bahwa kebijakan penggabungan SMPN 3 dan SMPN 7 bukan hanya berjalan lancar secara teknis, tetapi juga berkeadilan secara sosial. Selama guru diperlakukan sekadar sebagai angka dalam struktur, bukan sebagai insan pendidik yang harus dijaga martabatnya, maka pendidikan tak akan pernah mencapai kualitas yang sesungguhnya.”(TRSF)