sidikfokusnews.com.Batam — Kota Batam kembali menjadi sorotan nasional setelah kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang menimpa pekerja lokal terkuak. Praktik PHK tanpa prosedur yang sah di perusahaan-perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) dinilai bukan hanya melanggar undang-undang, tetapi sudah memasuki wilayah kejahatan struktural yang berbahaya. Sorotan tajam ini datang dari Ignatius Toka Solly, SH., seorang pengamat hukum ketenagakerjaan dan praktisi hukum.
Dalam pernyataannya, Ignatius menegaskan bahwa Batam, sebagai “etalase” investasi Indonesia, seharusnya menjadi contoh bagaimana hukum ditegakkan secara kokoh, bukan sebaliknya. “Batam adalah wajah Indonesia di panggung internasional. Setiap pelanggaran hukum ketenagakerjaan di sini bukan hanya mencoreng kota ini, tetapi mencederai nama baik negara,” ujarnya.
Lebih jauh, Ignatius memaparkan bahwa PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan asing adalah bentuk kejahatan struktural dan moral. Bukan sekadar pelanggaran administrasi, melainkan tindakan yang menghilangkan hak dasar manusia untuk bekerja dan hidup layak. “Ini bukan hanya pelanggaran hukum. Ini pembunuhan harapan. PMA datang membawa investasi, tetapi bukan untuk membunuh manusia Indonesia,” tegasnya dengan nada geram.
Ia juga mengkritik keras sikap pemerintah yang dinilai lamban dan pasif dalam menangani persoalan ini. Menurutnya, negara bukan saja wajib ada, tetapi harus hadir aktif ketika rakyatnya dirugikan, apalagi oleh perusahaan asing. “Negara mendapat pemasukan besar dari pajak dan kontribusi buruh. Tapi ketika buruh jadi korban kezaliman korporasi, negara justru diam. Ini bukan saja kelalaian, ini pembiaran dan pengkhianatan terhadap Pancasila,” kritik Ignatius.
Ia menegaskan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan tidak boleh hanya berhenti pada retorika atau regulasi, tapi harus terjun langsung memantau dan mengaudit PMA bermasalah. Penegakan hukum ketenagakerjaan, menurutnya, harus menjadi prioritas nasional. Tanpa itu, investasi hanya akan menjadi topeng bagi pelanggaran HAM dalam bentuk baru.
Ignatius juga menambahkan bahwa praktik pelanggaran berulang di Batam adalah bukti bahwa tata kelola investasi masih bermasalah. Ketika pejabat daerah, aparat pengawas, dan pembuat kebijakan gagal memastikan hukum ditegakkan, maka tidak ada jaminan investor datang dengan etika dan kepatuhan. “PMA boleh membawa modal, tetapi tidak boleh membawa arogansi. Mereka harus tunduk pada hukum negara kita,” ujarnya.
Pernyataan Ignatius menegaskan perlunya reformasi sistemik dalam perlindungan pekerja di daerah industri strategis. “Jika kita tidak ingin para buruh terus menjadi korban, maka harus ada ketegasan hukum. Indonesia negara hukum, bukan negara modal,” tegasnya.
Redaksi akan terus menyorot perkembangan isu ini, sebagai bagian dari komitmen untuk mengawal penegakan keadilan terhadap pekerja Indonesia dan memastikan bahwa investasi tidak menjadi alasan untuk menginjak martabat manusia.
(tim)

















