banner 728x250

Pendidikan Kepulauan Riau Tercoreng: Dugaan Rekayasa Seleksi Calon Kepala Sekolah SMA/SMK 2025, Kompetensi Tersingkir, Titipan Melenggang

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com.Tanjungpinang.‐Dunia pendidikan di Provinsi Kepulauan Riau kembali diwarnai kontroversi. Proses seleksi bakal calon kepala sekolah (BCKS) jenjang SMA/SMK tahun 2025 yang digelar Dinas Pendidikan Provinsi Kepri tengah menjadi sorotan tajam. Dugaan rekayasa dan aroma pengkondisian mencuat, menyisakan luka mendalam di kalangan guru-guru kompeten yang merasa disingkirkan secara sepihak dari proses seleksi.

banner 325x300

Puluhan guru yang telah dinyatakan lolos seleksi administrasi dan siap maju ke tahap seleksi substansi, tiba-tiba digugurkan. Alasannya? “Kuota dibatasi hanya 12 orang.” Keputusan ini dianggap janggal dan tidak memiliki dasar transparansi yang jelas.

“Kami sudah melengkapi semua berkas. Tapi setelah dinyatakan lulus, tiba-tiba nama kami hilang dari daftar. Alasannya kuota. Padahal tidak pernah diinformasikan sebelumnya kalau ada pembatasan kuota. Ini seperti jebakan,” ujar salah seorang peserta seleksi dengan nada kecewa.

Lebih lanjut, Disdik Kepri berdalih bahwa sistem digital SIMKSPSTK secara otomatis membatasi peserta seleksi substansi menjadi dua kali lipat dari jumlah kuota pelatihan. Namun, panduan sistem yang dijadikan acuan justru menyatakan bahwa jika jumlah peserta yang valid melebihi kuota, seharusnya dilakukan seleksi tambahan—bukan digugurkan begitu saja. Seleksi tambahan tersebut dapat berupa tes substansi, pemeringkatan berdasarkan prestasi, masa kerja, golongan, hingga kedekatan domisili. Sayangnya, semua prosedur itu dilewati.

“Kalau memang lebih, ya adakan tes substansi. Ini tidak, kami dicoret diam-diam. Ini bukan seleksi, ini eksekusi,” tambah peserta lain yang memilih tidak disebutkan namanya.

Kecurigaan semakin kuat bahwa proses seleksi ini hanya formalitas. Sejumlah guru menduga bahwa nama-nama yang akan lolos sudah diplot sejak awal. “Seleksi Kepala Sekolah di Kepri dari dulu selalu sarat kepentingan. Siapa yang dekat dengan pejabat dinas, dialah yang lolos. Bukan berdasarkan prestasi atau dedikasi,” ungkap seorang sumber yang sudah berulang kali mengikuti seleksi serupa.

Sumber informasi lain menyebutkan, para peserta yang berasal dari Batam diragukan kualitasnya. “Tiga peserta dari Batam yang diduga dekat dengan orang nomor satu di dinas, justru mulus jalannya. Ini seleksi atau transaksi kekuasaan?”

Kasus ini menggambarkan betapa budaya patronase masih melekat erat dalam birokrasi pendidikan daerah. Alih-alih menjadi proses penyaringan calon pemimpin sekolah yang tangguh dan berintegritas—seperti semangat yang dicanangkan Kemendikbudristek melalui program Platform Merdeka Mengajar—seleksi ini justru menjadi ajang jual beli pengaruh dan ajang balas budi.

Ahli pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Dr. Dodi Susanto, menanggapi serius situasi ini. “Kalau proses seleksi dilakukan tanpa transparansi, tanpa mekanisme pengaduan yang jelas, dan penuh manipulasi, maka dampaknya bukan hanya pada guru, tapi pada seluruh ekosistem sekolah. Kepala sekolah yang tidak lahir dari proses kompetitif, sulit diharapkan jadi pemimpin transformatif,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa proses seperti ini menabrak prinsip dasar meritokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi dalam pengangkatan jabatan publik. “Meritokrasi bukan hanya idealisme, tapi kebutuhan. Apalagi dalam pendidikan, tempat karakter anak bangsa dibentuk. Jika dasarnya sudah korup, bagaimana anak didik akan tumbuh dengan nilai kejujuran dan prestasi?” tambahnya.

Para peserta yang merasa dirugikan mendesak adanya:

Audit total terhadap proses seleksi BCKS oleh Kementerian Pendidikan dan lembaga independen seperti Ombudsman RI.

Penonaktifan atau pemecatan pejabat Dinas Pendidikan Kepri yang terlibat dalam dugaan manipulasi seleksi.

Pengembalian hak para guru yang telah lolos administrasi untuk tetap ikut tahap substansi.

Pengawasan ketat dalam proses penempatan kepala sekolah agar sesuai dengan kriteria kompetensi, bukan relasi kekuasaan.

“Ini bukan hanya soal jabatan. Ini soal harga diri kami sebagai guru. Dan lebih dari itu, ini soal masa depan pendidikan Kepri. Kalau jabatan kepala sekolah bisa diatur-atur, lalu apa yang bisa kami harapkan dari sekolah?” ujar salah seorang guru dengan suara bergetar.

Upaya konfirmasi terhadap Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau belum mendapatkan tanggapan hingga berita ini diturunkan. Sementara itu, desakan dari komunitas guru dan organisasi pendidikan terus menguat agar pemerintah pusat segera turun tangan.

Jika semua pihak diam dan membiarkan praktik seperti ini berulang, maka bukan hanya kredibilitas Dinas Pendidikan yang hancur, tetapi masa depan generasi Kepri yang dipertaruhkan. Dalam senyap, integritas pendidikan sedang digadaikan.”(Arf)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *