banner 728x250
Natuna  

Pemuda Pulau Ultimatum Pusat: “Jika Suara Kepri Tak Didengar, Kami Duduki KSOP!” Wan Jupri dan Kawan-Kawan Kobarkan Perlawanan Rakyat Maritim: “Kembalikan Laut Kami yang Dirampas!”

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Natuna. —
Awan gelap tengah menggantung di langit maritim Kepulauan Riau (Kepri). Suara rakyat dari pulau-pulau kecil kini menggema, menuntut keadilan yang selama ini dirampas oleh kebijakan pusat. Di bawah komando Aliansi Peduli Indonesia Kepulauan Riau (API Kepri), barisan pemuda dan nelayan bangkit. Dari Natuna hingga Batam, dari Anambas hingga Karimun, satu pesan lantang berkumandang:
“Kembalikan hak laut kami, atau kami akan merebutnya sendiri!”

banner 325x300

Ultimatum keras itu datang dari Wan Jupri, tokoh muda pesisir Natuna yang kini menjadi simbol perlawanan baru rakyat maritim Kepri. Dari tepi Laut Cina Selatan, dengan suara lantang dan sorot mata penuh bara, ia memperingatkan bahwa kesabaran rakyat sudah mencapai batas.

“Jangan salahkan rakyat kalau kami turun dan duduki KSOP! Kami bukan mencari keributan, tapi menegakkan hak yang dirampas. Ini tanah air kami, ini laut kami!” seru Wan Jupri menggelegar.

Kemurkaan itu bukan tanpa alasan. Sejak diberlakukannya kebijakan sentralisasi pengelolaan laut, kewenangan strategis Kepri — mulai dari retribusi labuh jangkar, lampu suar, hingga izin pelayaran — ditarik sepenuhnya ke tangan pemerintah pusat. Akibatnya, daerah penghasil hanya menjadi penonton di lautnya sendiri. Pendapatan asli daerah merosot tajam, sementara kapal-kapal besar dari luar daerah bahkan luar negeri leluasa mengeruk hasil laut tanpa kendali.

Gelombang perlawanan ini kian besar setelah Ismeth Abdullah, Gubernur pertama Kepri sekaligus anggota DPD RI, menggaungkan seruan keras untuk mengembalikan kedaulatan maritim kepada daerah. Dalam pandangannya, kebijakan pusat telah menghapus keadilan bagi daerah penghasil.

“Sudah cukup pusat memperlakukan Kepri seperti anak tiri. Laut adalah sumber kehidupan rakyat kami. Jangan biarkan kekayaan laut diangkut keluar sementara nelayannya hidup miskin di tepi pantai,” tegas Ismeth dalam pernyataannya yang menggema ke seluruh pesisir.

Seruan itu menjadi percikan api yang membakar semangat perlawanan di akar rumput. Dari pelabuhan kecil hingga kampung nelayan, rakyat mulai menyadari bahwa laut bukan hanya sumber penghidupan, melainkan simbol martabat dan kedaulatan.

Wan Jupri mengungkapkan bahwa penderitaan nelayan kini sudah berada pada titik nadir. Kapal-kapal besar dari luar daerah terus merusak ekosistem laut dan jalur tangkapan nelayan tradisional tanpa pengawasan yang jelas.

“Kami lihat sendiri kapal cumi dari Jawa mondar-mandir di perairan Natuna. Mereka merusak jaring, menghancurkan terumbu, dan kami dilarang menegur karena katanya itu kewenangan provinsi. Jadi kami hanya bisa menonton laut kami dijarah,” ujarnya getir.

Bagi Wan Jupri, kebijakan pusat bukan hanya menciptakan ketimpangan ekonomi, tapi juga merampas harga diri masyarakat pesisir.

“Kalau di Natuna laut kami dikeruk, di Batam, Bintan, dan Tanjung Balai Karimun retribusi labuh jangkar juga lenyap. Semua diambil pusat. Kami hanya kebagian sisa dan janji kosong,” katanya tajam.

Gerakan yang digalang oleh API Kepri kini menjelma menjadi arus perlawanan moral dan politik maritim. Mereka menuntut pengembalian kewenangan pengelolaan laut ke daerah, transparansi pendapatan sektor maritim, serta penghentian eksploitasi sumber daya laut oleh pihak luar yang berlindung di balik aturan pusat.

“Ini bukan pemberontakan terhadap negara. Ini pembelaan terhadap keadilan yang diinjak-injak. Kami bukan musuh bangsa — kami benteng bangsa,” ujar salah satu koordinator API Kepri dengan suara tegas.

Menurut sejumlah pakar otonomi daerah, apa yang terjadi di Kepri adalah konsekuensi langsung dari kebijakan UU No. 23 Tahun 2014 yang menarik kewenangan strategis kelautan dari daerah ke pusat. Kebijakan itu mengebiri kemampuan daerah kepulauan untuk mengelola potensi fiskal maritimnya.

“Kepri bukan daratan. Mereka hidup dari laut, menjaga laut, tapi tak diberi hak atas lautnya. Ini bukan desentralisasi, tapi penjajahan birokrasi dalam wujud baru,” ujar seorang pengamat hukum tata negara menohok.

Sementara itu, pengamat kebijakan perhubungan laut menilai bahwa pemerintah pusat gagal memahami karakter dan kompleksitas daerah kepulauan seperti Kepri.

“Laut Kepri bukan sekadar jalur pelayaran, tapi ruang hidup dan ekonomi rakyat. Kalau semuanya dikendalikan dari Jakarta, maka Kepri kehilangan jati diri dan daya tawarnya. Ini bukan soal administrasi — ini soal kedaulatan,” tegasnya.

Ia menyerukan perlunya revolusi kebijakan maritim nasional, di mana daerah kepulauan diberi hak mengelola lautnya sesuai karakter geografis dan sosialnya, bukan dipaksa tunduk pada aturan daratan.

Kini, dari pesisir Natuna hingga pelabuhan Batam, suara rakyat maritim menggema. Seruan Ismeth Abdullah dan ultimatum Wan Jupri bukan sekadar amarah, melainkan refleksi dari kesadaran kolektif yang telah lama terpendam: bahwa laut bukan milik pemerintah pusat, melainkan warisan leluhur yang harus dijaga oleh anak negeri sendiri.

“Laut ini bukan milik Jakarta. Laut ini milik anak-anak Kepri yang hidup dari ombaknya,” ujar Wan Jupri menutup dengan nada perlawanan yang mengguncang cakrawala Natuna.

Kepulauan Riau kini berada di tepi sejarah. Bila suara daerah terus diabaikan, maka gelombang yang bergulung dari Natuna bukan hanya ombak perlawanan — ia bisa menjelma menjadi badai politik maritim terbesar yang mengguncang dari laut biru Kepri hingga jantung kekuasaan di Jakarta.

“Kembalikan hak kami, sebelum kami yang mengambilnya kembali!” — seruan terakhir dari laut yang menolak dijajah lagi.”arf-6

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *